Pertamina mulai mengembangkan hidrogen
Pertamina akan memproduksi hidrogen hijau dan biru sebagai upaya mengejar target energi bersih pada 2030.
Ada ketidakseimbangan antara potensi dan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Berdasarkan estimasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari 3.686 gigawatt (GW) potensi energi terbarukan di Indonesia, baru 0,3% yang termanfaatkan. Perusahaan minyak dan gas milik negara Pertamina, melalui sub-holdingnya, Pertamina Power and New Renewable Energy (Pertamina NRE), berupaya mengisi ketidakseimbangan ini dengan pengembangan hidrogen di tengah transisi energinya.
Sejalan dengan rencana pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dan emisi net-zero pada 2060, Pertamina NRE akan menginvestasikan US$12 miliar untuk memenuhi target energi bersihnya pada 2030. Salah satu target energi bersihnya akan dipenuhi melalui pilot project hidrogen hijau dan biru.
“Kami yakin akan ada peralihan dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan, dan Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas akan berpartisipasi dalam transisi tersebut. Kami juga akan fokus mengembangkan energi baru, yaitu hidrogen,” kata Chief Executive Officer Pertamina NRE, Dannif Danusaputra dalam wawancara eksklusif dengan Asian Power.
Energi yang lebih bersih
Hidrogen hijau berasal dari proses kimia yang dikenal sebagai elektrolisis. Metode ini menggunakan arus listrik untuk memisahkan hidrogen dari oksigen di dalam air. Listrik dapat diperoleh dari sumber terbarukan seperti angin atau energi matahari. Oleh karena itu hidrogen bisa menghasilkan energi tanpa memancarkan karbon dioksida.
Penggunaan hidrogen memiliki kelebihan, antara lain mudah mengikat unsur lain seperti air dan hidrokarbon. Ini memiliki kepadatan energi yang besar, sekitar 140 megajoule per kilogram (MJ/kg), atau enam kali lebih besar dari batu bara. Satu kg hidrogen dapat digunakan oleh kendaraan untuk menempuh jarak sekitar 140 kilometer (km).
“Pengembangan pemanfaatan hidrogen perlu dilakukan karena dapat digunakan untuk transportasi jarak jauh seperti bus yang biasanya menempuh jarak 100 km setiap hari. Sebuah bus tidak dapat menggunakan baterai karena membutuhkan density yang sangat tinggi sehingga terlalu berat dan akan memakan waktu terlalu lama untuk mengisi daya. Dengan menggunakan hidrogen dalam bentuk gas cair akan lebih feasible dan dapat mengurangi emisi dari energi fosil,” kata Dannif.
Pemerintah menyatakan akan mengembangkan hidrogen sebagai bagian dari target energi bersih. Kementerian ESDM Indonesia dan pemerintah Jerman melalui Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH mempelajari potensi pasar hidrogen hijau di Indonesia dan menemukan sekitar 1.895 kT/tahun pada 2021
Melalui Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak perusahaan Pertamina di bawah Pertamina NRE, telah dilakukan pilot project pengembangan hidrogen hijau di wilayah kerja panas bumi Ulubelu, Lampung dengan target produksi 100 kg per hari. Dalam jangka panjang, produksi hidrogen hijau ditargetkan mencapai 8.600 kg per hari.
Pertamina NRE juga memproduksi hidrogen biru dari gas alam menggunakan penangkapan karbon. Emisi CO2 yang dikeluarkan dari proses tersebut disimpan dalam wadah khusus sehingga jejak karbon berkurang. Pertamina melalui PT Refinery Pertamina Internasional (KPI) mengembangkan hidrogen biru di kilang Plaju dan Cilacap.
Tantangan transisi energi
Sumber energi baru terbarukan diharapkan dapat memberikan kontribusi sebesar 4 GW terhadap target panjang energi bersih Pertamina pada 2030. Dari target 4 GW tersebut, kontribusi yang signifikan berasal dari tenaga panas bumi yang dikelola oleh PGE. Sumber lain berasal dari tenaga surya, pembangkit listrik berbahan bakar biogas, smart grid, hidrogen hijau dan biru, kendaraan listrik, dan solusi iklim alami.
Dannif mengakui transisi energi Pertamina menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pertama datang dari pembiayaan.
“Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan skala kapasitas terpasang proyek energi baru terbarukan,” katanya.
Yang kedua adalah teknologi. Menurut Dannif, perkembangan teknologi di bidang ini baru berlangsung sekitar 10 tahun, sehingga Pertamina NRE terus beradaptasi.
“Di Pertamina, kami memiliki tim riset dan inovasi teknologi yang disiapkan khusus untuk mengantisipasi dan mengadopsi perkembangan teknologi. Kami berinvestasi pada perusahaan yang memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi unggulan. Apa yang kami lakukan adalah bermitra dan berinvestasi di perusahaan yang mengembangkan hidrogen hijau dan biru,” kata Dannif.
Pertamina bergabung dengan Indonesia Battery Corporation (IBC) bersama tiga BUMN lainnya untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik.
“Kami ingin meningkatkan adopsi kendaraan listrik di Indonesia yang masih rendah. Adopsi (kendaraan listrik roda dua) hanya 0,1%. Sementara itu, ada 130 juta sepeda motor dan lima hingga tujuh juta sepeda motor baru terjual setiap tahun. Ini potensi yang sangat besar," kata Dannif.
Tantangan ketiga adalah harga kendaraan listrik yang masih jauh jauh lebih tinggi daripada kendaraan dengan energi fosil. Dannif mengatakan pemberian insentif bagi pengguna kendaraan listrik dapat dimulai di tingkat daerah seperti di Bali dengan Peraturan Gubernur Bali 48/2019.
Pemerintah Indonesia mengumumkan penerapan pajak karbon efektif mulai 1 Juli 2022 untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, tetapi kebijakan itu ditunda. Regulasi yang belum siapi, serta gejolak ekonomi global yang berkepanjangan, merupakan risiko yang perlu diwaspadai oleh pemerintah.
Berdasarkan rancangan pajak karbon pemerintah, emisi dikenakan tarif minimum Rp30 (US$0,2) per kg CO2-eq dan akan dilaksanakan di bawah skema cap-trade. Pajak adalah jumlah yang harus dibayar perusahaan untuk kelebihan emisi di atas batas pemerintah untuk periode tertentu.
“Dengan semakin canggihnya teknologi di sektor transportasi, biaya energi akan semakin berkurang. Transisi energi akan berjalan secara alami, di mana energi fosil akan membayar pajak karbon, sedangkan energi baru d terbarukan akan mendapat insentif,” kata Dannif.
Pertamina NRE akan terus mengikuti perkembangan energi baru terbarukan, mencari solusi atas adanya tantangan dalam menghasilkan energi bersih yang sesuai dengan target pemerintah.