Indonesia membuka potensi energi baru dan terbarukan
Sembilan pembicara di Jakarta 2023 Asian Power Forum memadukan kerja sama pemerintah-swasta untuk menggerakkan lanskap energi Indonesia ke masa depan.
Sektor ketenagalistrikan Indonesia siap untuk tumbuh, berkat inisiatif energi baru terbarukan, infrastruktur transmisi modern, dan lingkungan negara kepulauan yang unik dan kaya sumber daya. Kondisi tersebut menjadi pusat diskusi para pemimpin industri dan pemangku kepentingan pada Jakarta 2023 Asian Power Forum yang digelar di Hotel Pullman pada 4 Mei lalu.
Hadir sembilan pembicara dari berbagai sektor industri ketenagalistrikan, perwakilan dari kementerian, BUMN dan swasta, serta sekitar 50 peserta audiensi.
Langkah berani menuju energi terbarukan
Pada sesi pertama, Harris Yahya, direktur panas bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, memaparkan upaya Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam rangka Conference of the Parties (COP), United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) diselenggarakan November lalu.
Pejabat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu mengatakan Indonesia telah meningkatkan target pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan hingga 43,20% dengan dukungan internasional. Kemampuan negara itu, kata Harris, karena nusantara dikaruniai sumber daya alam energi terbarukan (EBT) yang melimpah, antara lain tenaga surya, air, bioenergi, angin, panas bumi, dan laut, yang berpotensi untuk menghasilkan 3,686 gigaWatt.
Namun, sejauh ini baru 12.570 MW yang telah dimanfaatkan dari sumber EBT tersebut. Untuk mengoptimalkan sumber daya tersebut, Yahya mengusulkan perlunya super grid yang modern dan terintegrasi untuk membangun infrastruktur transmisi yang tangguh dan tangguh. Ini akan membantu merampingkan pengembangan energi terbarukan, menjaga stabilitas dan keamanan transmisi, dan mengatasi ketidaksesuaian antara sumber daya ET dan lokasi daerah permintaan listrik yang tinggi.
Ia juga menekankan pentingnya penerapan Renewable Energy Based Industry Development (REBID) yang diharapkan dapat menarik investasi dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Saat ini, pemerintah telah memiliki program yang disebut Pengembangan Terpadu PLTA Skala Besar dalam Pengembangan Industri dan Sinergi Pembangunan EBT dengan Pengembangan Klaster Ekonomi, yang berfokus pada pengembangan sumber daya hidro dan panas bumi skala besar yang bersinergi dengan pengembangan klaster ekonomi, beliau dikatakan.
Dalam paparannya yang berjudul “Pengembangan Energi Panas Bumi di Indonesia”, beliau mengatakan Indonesia memiliki salah satu kapasitas panas bumi terbesar di dunia yaitu sebesar 2.368 MW. Dia memaparkan strategi untuk meningkatkan daya saing panas bumi, antara lain meningkatkan kualitas data melalui pengeboran pemerintah, optimalisasi pemanfaatan pendanaan, dan penggunaan pembangkit skala kecil di lapangan yang ada.
Strategi IPP untuk kemandirian energi terbarukan
Pada “Pengembangan IPP untuk Kemandirian Energi ET”, pembicaranya adalah Arthur Simatupang, ketua Asosiasi Produsen Listrik Mandiri Indonesia, yang menekankan pentingnya kolaborasi antara perusahaan energi dan lembaga pemerintah di Indonesia untuk mencapai kemandirian ET.
Salah satu strategi utama yang disorot oleh Arthur adalah pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara (CFPP) seiring dengan pengembangan sumber energi terbarukan. Dia menyarankan bahwa pendekatan ini dapat memulai transisi ke energi terbarukan dan membantu perusahaan mencapai tujuan ET mereka lebih cepat.
Arthur juga merekomendasikan percepatan program dieselisasi PT PLN (Persero), perusahaan listrik milik negara di Indonesia. Program tersebut bertujuan untuk mengganti pembangkit berbahan bakar solar dengan sumber energi terbarukan, khususnya di wilayah yang tidak terhubung dengan jaringan listrik nasional.
Strategi lain yang disorot oleh Arthur adalah pemetaan potensi permintaan dan pasokan ET. Ini dapat membantu perusahaan mengidentifikasi area di mana energi terbarukan dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien.
Mengembangkan energi panas bumi dan air
Jakarta 2023 Asian Power Forum juga memberi jalan kepada Geo Dipa Energi milik negara, yang direktur Operasi & HSSE-nya, Supriadinata Marza, membahas tantangan untuk memenuhi permintaan sumber daya alam yang terus meningkat di tengah meningkatnya persaingan untuk mendapatkannya.
Supriadinata memulai presentasinya yang bertajuk “Peran GDE sebagai Geothermal SMV di Sektor Energi Masa Depan” dengan mengutip megatren dunia 2045 yang menyoroti persaingan sumber daya alam seperti yang terlihat di Asia dan Afrika.
Hal ini, kata dia, menjadi tantangan, terutama ketika sumber daya alam yang tersedia tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat. Dia menyatakan kepastian pentingnya ET sebagai tren kemajuan teknologi selanjutnya dan kebutuhan untuk mengurangi emisi untuk mengatasi perubahan iklim.
Sebagai Special Mission Vehicle (SMV) pemerintah, GDE bertugas memanfaatkan energi panas bumi untuk pembangkit listrik. Sesuai dengan mandat tersebut, dia mengatakan mereka bertanggung jawab untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi seperti di Dieng dan Patuha, dan bertindak sebagai badan pelaksana eksplorasi di Indonesia Timur. Pada 2060, Geo Dipa Energi diharapkan berkontribusi 5,5% pembangkit listrik panas bumi di Indonesia, katanya.
Teknologi baru
Menghidupkan diskusi forum ke tingkat berikutnya adalah Presiden dan CEO Supreme Energy Nisriyanto dan Wakil Presiden PLN Energi Hidro Hendro Prasetywawan, Wakil Presiden Energi Hidro PLN yang sesi panelnya tentang “Tren Teknologi yang Muncul dalam Pembangkit Energi Panas Bumi dan Hidro” yang dimoderatori oleh Tim Charlton, penerbit majalah Asian Power.
Nisriyanto mengatakan, adopsi teknologi terkini di sektor panas bumi masih menjadi tantangan bagi pengembang panas bumi dan saat ini masih meningkatkan penelitian dan pengembangan seluruh siklus terpadu panas bumi.
“Kami membutuhkan lebih banyak data untuk dapat memanfaatkan adopsi teknologi baru ini secara efektif di sektor panas bumi,” kata Nisriyanto.
Sementara itu, kata Hendro, PLN sedang mengupayakan pembangunan sektor hidro untuk menghasilkan 10 GW pada 2030. “Indonesia memiliki sumber daya hidro yang besar dan potensi ini tersebar di pulau Jawa dan Sumatera, sehingga membutuhkan kajian yang komprehensif untuk mengembangkannya. Perlu ada koneksi ke lokasi yang tepat, dan menyeimbangkan EBT yang terputus-putus,” katanya.
Masa depan energi hijau
Sesi berikutnya beralih ke topik, “Menggerakkan Potensi Energi EBT Indonesia,” dengan pembicara tamu terhormat, Primanitya Swastiastu, Vice President for Business Development of Low-Carbon Solutions & Future Business Pertamina EBT.
Dia mengatakan, Inisiatif Bisnis Hijau Pertamina diperkirakan memiliki kapasitas hingga 60 GW energi terbarukan pada tahun 2060, dengan belanja modal kumulatif (capex) sebesar $50-55 miliar.
Dengan ini, Pertamina EBT mengemban misi untuk memimpin Pertamina Energy Transition menuju net zero emission (NZE) dengan solusi rendah karbon yang meliputi transisi dari gas ke listrik, dekarbonisasi menggunakan Nature Based Solutions, dan penggunaan energi baru dan terbarukan, yang meliputi panas bumi, surya, biomassa, dan biogas.
Selain itu, Pertamina EBT berencana melakukan ekspansi ke bisnis masa depan seperti pembuatan baterai dan hidrogen. Dia mengatakan perusahaan memiliki visi memberi energi kepada orang-orang dengan energi hijau dan berkomitmen untuk mencapai masa depan yang berkelanjutan untuk sektor energi Indonesia.
Solusi inovatif
Selama dua sesi berikutnya, Jakarta Asian Power Forum menampilkan dua presentasi menarik yang menyoroti lanskap energi Indonesia.
Bob S. Effendi, COO Thorcon Power Indonesia, mempresentasikan solusi praktis Thorcon untuk transisi energi di Indonesia menuju NZE 2060. Presentasinya menyoroti pentingnya solusi inovatif dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat.
Di sisi lain, David Ellis, presiden direktur Solar Power Indonesia, berbicara tentang tantangan elektrifikasi pedesaan, mengutip data pemerintah tentang 433 desa tanpa listrik dan 5.231 desa dengan listrik off-grid berkualitas rendah.
Dalam presentasinya yang berjudul “Microgid Design – A Suggested Methodology and Case Study”, Ellis menjelaskan bagaimana Solar Power Indonesia menggunakan teknologi canggih, khususnya perangkat lunak mikrogrid Hybrid Optimization of Multiple Electric Renewables (HOMER), untuk mengevaluasi desain baik off-grid maupun grid. -sistem tenaga yang terhubung
“HOMER membuatnya mudah dan memungkinkan Anda untuk melihat dampak variabel yang berada di luar kendali, seperti kecepatan angin dan biaya bahan bakar,” kata Ellis.
Terakhir, tinjauan “Masa Depan Sektor Energi Asia Menuju Energi Hijau” menjadi tema klimaks dalam diskusi panel yang menutup Asian Power Forum tahun ini di Jakarta.
Dimoderatori, sekali lagi, oleh Tim Charlton, diskusi yang menarik tentang lanskap energi hijau di Indonesia didorong oleh wawasan dari Lim Wen Bin, direktur dan pimpinan untuk Asia Pacific Renewable Sector KPMG, bersama dengan masukan dari pembicara sesi Effendi dari Thorcon dan Ellis dari Solar Power Indonesia.
Ellis berbicara tentang proyek microgrid yang sedang dikembangkan oleh Solar Power Indonesia, sedangkan Effendi menyoroti potensi energi nuklir. Wen Bin, sementara itu, menyatakan optimisme untuk transisi energi di negara ini, selama ada dorongan yang kuat dan terpadu menuju ET oleh semua pihak terkait. “Indonesia adalah negara yang diberkati dengan sumber daya yang signifikan dan kami yakin Indonesia memiliki potensi besar dalam membangun ekonomi hijau,” katanya.