, Southeast Asia
639 views

Asia Tenggara menghadapi perjuangan berat dalam penerapan CCUS tanpa penetapan harga karbon

Kecil kemungkinan harga karbon di kawasan ini bisa mencapai $40 per ton karbon dioksida.

Tidak ada kebutuhan akan harga karbon dalam upaya mendanai penyebaran teknologi carbon capture, usage, and storage (CCUS), kata Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA). Dan ini adalah rintangan yang dihadapi oleh kekuatan ekonomi yang mengambil bagian dalam transisi energi bersih, terlebih di Asia Tenggara di mana hanya Singapura yang sejauh ini menetapkan harga karbon.

Singapura, bagaimanapun, hanya mengenakan  biaya $3,7 per ton karbon dioksida (tCO2), jumlah yang terlalu kecil dibandingkan dengan biaya $60-100tCO2 yang dikeluarkan untuk pembangkit listrik, Energy Analyst IEEFA Putra Adhiguna mengatakan kepada Asian Power.

Badan Energi Internasional atau The International Energy Agency (IEA) telah memproyeksikan harga karbon dapat mencapai $40tCO2 di 2070, turun dari $65/tCO2 di 2020. Meskipun demikian, dia mengatakan harga $40 masih mahal.

“Untuk pembangkit listrik, $40tCO2 masih mahal dan kami percaya Asia Tenggara tidak mungkin dapat mengikuti ini, mengingat CCUS akan menjadi lebih matang dalam dua dekade ke depan, sementara pembangkit listrik sudah tiga dekade atau empat dekade dan hal tersebut akan menjadi pertanyaan lain,” kata Adhiguna.

Adhiguna menjelaskan negara-negara yang telah menerapkan penangkapan karbon untuk pemrosesan gas dapat mengatasi persoalan keuangan yang ada dalam mendapatkan kesepakatan pembiayaan yang tepat, yang tidak terjadi di sektor listrik.

“Di sektor listrik, harganya sangat mahal dan kami tidak percaya ada cara lain untuk menjawab pertanyaan tentang harga karbon. Dengan tidak adanya harga karbon yang tepat dan tidak adanya harga listrik yang layak untuk didistribusikan ke masyarakat, sangat sulit untuk melihat bahwa penangkapan karbon dalam pembangkit listrik akan menang,” katanya.

Singapura dan pasar lainnya

Sementara harga karbon $3,7 masih belum mencukupi, Singapura menjadi pengecualian karena IEEFA melihat potensinya untuk mendirikan hub CCUS. Pertama, Singapura lebih unggul dari tetangganya dalam hal penetapan harga karbon karena pemerintahnya mengumumkan “rencana agresif” untuk menaikkan harga karbon menjadi $18/tCO2 di 2024 dan menjadi $37-60/tCO2 di 2030. Singapura juga memiliki PDB yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, tetapi di atas segalanya, pasar Sinagpura memiliki basis industri yang terkonsentrasi, seperti kilang, dan industri petrokimia.

“Karena Singapura adalah pusat bagi banyak produk, apakah produk  itu diekspor atau digunakan di dalam negeri, ini dapat menjadi contoh jika CCUS akan ditempatkan di sana,” kata Adhiguna, sembari mencatat bahwa pasar menikmati dukungan substansial dari pemerintah, khususnya di bidang riset dan pengembangan (R&D).

Selain itu, dia menambahkan Singapura kemungkinan harus bekerja sama dengan  negara-negara terdekat, seperti Malaysia dan Indonesia, karena melihat kebutuhan untuk menemukan lokasi penempatan CCUS.

Selain Singapura, Indonesia juga telah mengumumkan skema cap-and-tax dengan $2,1/tCO2e yang akan dimulai pada 2022; sementara Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam semuanya masih mempertimbangkan penetapan harga karbon.

Di luar Asia Tenggara, IEEFA mencatat dalam laporan Carbon Capture in the Southeast Asia Market Context bahwa Jepang, Cina, dan Korea Selatan berpotensi menjadi pemimpin di CCUS, namun masih berjuang dalam pengembangannya. Jepang memimpin dalam hal pengembangan teknologi CCUS baik di Asia maupun di seluruh dunia dengan teknologi yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan di AS. Namun, kapasitas penangkapan karbonnya masih rendah sekitar 0,2 juta ton per tahun.

Adhiguna mengaitkan hal ini dengan risiko geologis di Jepang, mengingat negara tersebut sangat rawan gempa. Dia menambahkan pasar juga menghadapi tantangan kesediaan pemerintah untuk mengadopsi CCUS dengan harga karbon yang tinggi. Saat ini, Jepang mengenakan $3tCO2e.

Cina memiliki kapasitas CCUS skala kecil dan belum meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. IEEFA juga mengamati pengembangan CCUS bukan menjadi prioritas pemerintah karena Cina gagal memberikan arahan yang lebih jelas untuk pengembangan CCUS skala luas. Kapasitas penangkapan karbon negara itu mencapai antara 2-4 juta tCO2 per tahun (MTPA), yang kurang dari yang dapat dihasilkan oleh satu pabrik di AS, menurut perbandingan IEEFA.

Sementara itu Korea Selatan telah menyusun rencana untuk berinvestasi di CCUS baik di dalam maupun di luar negeri. Menurut IEEFA, perusahaan utilitas Korean Electric Power Corporation (KEPCO) berencana untuk keluar dari batu bara di 2050 dan mengkomersialkan teknologi CCUS untuk pembangkit listrik tenaga batu bara 500 megawatt dan tenaga gas 150 MW di 2030. Namun, pemanfaatan CCUS saat ini masih “sebagian besar terbatas pada instalasi percontohan skala kecil.”

“Sebagian besar penyedia teknologi di sektor ketenagalistrikan dan industri di kawasan ini berasal dari ketiga negara tersebut,” katanya.

“Penting bagi Asia Tenggara untuk mengetahui ke mana arah ketiga negara ini karena arah ke mana mereka pergi dapat memberikan indikasi ke mana arah Asia Tenggara.”

Pemrosesan gas vs pembangkit listrik

Melihat lebih dekat, pengembangan CCUS di Asia Tenggara sebagian besar didominasi oleh CCUS pengolahan gas daripada CCUS untuk pembangkit listrik. Lebih dari 60% kapasitas CCUS yang dikerahkan saat ini adalah untuk pengolahan gas, yang menurut Adhiguna ditujukan untuk mendukung produksi industri migas. Ini bertentangan dengan diskusi yang sedang berlangsung tentang CCUS sebagai cara untuk mengurangi emisi.

“Akan sangat sulit bagi CCUS pemrosesan gas untuk terus berkembang karena pada akhirnya, ketika kita bergerak menuju target net-zero, ada dua pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh CCUS pemrosesan gas— pertama, apakah Gas ini untuk mendukung industri migas berproduksi,” katanya.

“Kedua, kita juga perlu mengingat bahwa setiap kali ada diskusi tentang CCUS, dan melibatkan pendanaan publik, publik pada akhirnya akan bertanya, apakah mereka membelanjakan uang pajaknya untuk mendukung transisi menuju net-zero, atau apakah mereka mendukung transisi menuju sesuatu yang memberikan lebih banyak liability jangka panjang daripada yang lainnya.”

Follow the link for more news on

PT Jawa Satu Power mulai mengoperasikan pembangkit listrik tenaga LNG sebesar 1.760 MW di Indonesia

Pembangkit ini dapat memproduksi listrik untuk 4,3 juta rumah tangga.

Barito Wind Energy mengakuisisi mayoritas saham di PT UPC Sidrap Bayu Energi

Perusahaan ini akan memegang saham sebesar 99,99% di perusahaan tersebut.

Grup NEFIN bekerja ekstra keras dalam mengejar proyek-proyeknya

CEO Glenn Lim menjelaskan bagaimana keterlambatan berubah menjadi hal baik karena perusahaan bertujuan mencapai kapasitas 667 MW pada 2026.

Summit Power International menyediakan dukungan LNG yang vital untuk Bangladesh

Tanpa pasokan listrik cross-border, LNG diperlukan oleh negara yang menghadapi kendala geografis untuk menerapkan sumber energi terbarukan.

JERA, mitra unit PT PLN untuk pengembangan rantai nilai LNG

MOU juga mencakup studi kemungkinan konversi ke hidrogen, rantai nilai amonia.

VOX POP: Bagaimana teknologi vehicle-to-grid dapat meningkatkan transisi energi?

Teknologi vehicle-to-grid (V2G) dipandang sebagai inovasi revolusioner menuju ketahanan jaringan listrik dan peningkatan transisi energi yang kokoh.

IDCTA: Partisipasi global dapat meningkatkan penjualan kredit karbon Indonesia

Pasar karbon Indonesia yang baru dibuka memiliki sebanyak 71,95% kredit karbon yang belum terjual pada akhir 2023.

Bagaimana Asia Tenggara dapat mencapai potensi biogasnya

Kawasan ini hanya memiliki sekitar satu gigawatt kapasitas dengan Thailand, Indonesia, dan Malaysia memimpin dalam hal produksi.