Supreme Energy mengambil inisiatif berani untuk lebih lanjut mengembangkan energi panas bumi di Indonesia
Mereka menjalankan tiga proyek di Pulau Sumatera, di mana 91% potensi panas bumi belum tereksplorasi.
Setelah AS, Indonesia merupakan negara kedua dengan sumber energi panas bumi terbesar di dunia. Indonesia memiliki potensi sebesar 23.766 megawatt (MW) dengan kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi sebesar 2.286 MW, menurut Handbook of Energy and Economic Statistics di 2021 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dari potensi nasional tersebut, Pulau Sumatera menyimpan potensi terbesar yaitu sebesar 9.517 MW. Namun, kapasitas pembangkit listrik panas bumi yang terpasang di Sumatera pada 2021 hanya sebesar 844,8 MW atau 8,8% dari total potensinya. Artinya, masih ada sekitar 91% potensi yang belum tergarap.
PT Supreme Energy ingin lebih mengembangkan sektor panas bumi di Sumatera. “Kami melihat Pulau Jawa sudah dieksplorasi sedangkan Sumatera belum banyak berkembang padahal memiliki sumber yang besar. Selain potensinya yang besar, kebutuhan listrik di Sumatera juga mulai tumbuh,” kata Presiden dan CEO Supreme Energy, Nisriyanto dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Asian Power.
Tiga proyek di Sumatra
Supreme Energy memiliki tiga wilayah kerja panas bumi di Sumatra, yaitu Muara Laboh di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, kemudian Rantau Dedap di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Rajabasa di Gunung Rajabasa, Lampung Selatan.
Proyek Supreme Energy di Sumatera berkontribusi untuk memasok listrik ke saluran listrik tegangan tinggi (SUTT), yang dijuluki Proyek Tol Listrik Sumatera, milik perusahaan listrik negara (PLN), dengan kapasitas 275 kilovolt yang membentang dari sisi selatan Sumatera ke bagian utara.
Pembangkit listrik panas bumi Supreme Energy di Muara Laboh terutama memasok listrik di Sumatera Barat bagian tengah seperti Riau, Pekanbaru dan Jambi yang selama ini hanya mengandalkan jaringan 275 kilovolt. “Kami melihat lokasi pembangkit kami sangat strategis dalam membantu menjaga kehandalan jaringan khususnya di Sumatera bagian tengah. Dengan pasokan listrik yang kami miliki, kami dapat berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sumatera bagian tengah,” kata Nisriyanto.
Beroperasinya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Muara Laboh pada akhir 2019 di Sumatera Barat menandai pertama kalinya PLTP beroperasi di provinsi tersebut. Menurut Kementerian ESDM 2018, pembangkit listrik di Sumbar, 50% berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, dan 30% dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Pengoperasian PLTP Supreme Energy juga mendukung target bauran energi baru terbarukan PLN yang ditargetkan mencapai 23% pada 2025 dan pada 2021 sejauh ini mencapai 11,5%.
Ketiga proyek di Sumatera ini telah menandatangani power purchase agreement (PPA) dengan PLN sejak 2012. Proyek Muara Laboh telah beroperasi sejak akhir 2019, proyek Rantau Dedap baru mulai beroperasi pada akhir 2021, sedangkan proyek Rajabasa telah memperoleh izin dari pemerintah untuk memulai eksplorasi di wilayah kerja tetapi saat ini masih melakukan negosiasi dengan PLN tentang Perpanjangan PPA.
“Saat ini, kami fokus pada pelaksanaan ketiga proyek tersebut, yang izin panas bumi dan perjanjian jual beli listrik jangka panjangnya sudah diamankan dengan PLN dan kami perlu mengeksekusi dan mengembangkannya,” kata Nisriyanto.
Masing-masing proyek memiliki kapasitas 220 MW. Saat ini, Supreme Energy telah mengoperasikan PLTP Muara Laboh Unit-1 sekitar 86 MW dan sedang dalam tahap pengembangan lagi 80 MW PLTP Muara Laboh Unit-2. Sementara itu, PLTP Rantau Dedap telah beroperasi dengan kapasitas sekitar 91 MW. Kedua pembangkit listrik panas bumi ini mampu memasok listrik ke sekitar ratusan ribu rumah tangga.
Untuk meningkatkan output, Supreme Energy menggunakan inovasi teknologi dual-flash saat mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Muara Laboh dan Rantau Dedap. Nisriyanto mengatakan penggunaan dual-flash dinilai baru di Indonesia dan berfungsi untuk memaksimalkan output dengan mengoptimalkan pasokan uap bertekanan rendah.
“Dengan menggunakan dual-flash, dengan uap yang menggerakkan turbin, energi tidak akan habis meski pada tekanan rendah. Jadi jika menggunakan single pressure sudah maksimal 65-70 MW, tapi dengan dual-flash bisa menghasilkan 80 MW,” kata dia menjelaskan.
Risiko kegagalan yang tinggi
Nisriyanto menjelaskan, saat ini beroperasinya pembangkit listrik panas bumi sebesar 86 MW dan 91 MW oleh Supreme Energy dari kapasitas 220 MW disebabkan oleh risiko yang tinggi saat melakukan eksplorasi panas bumi.
“Saat ini belum ada teknologi yang mampu mendeteksi sumber daya di dalam bumi sebelum melakukan pengeboran. Ada kemungkinan cadangan panas bumi tidak seperti yang kami harapkan. Misalnya, dari enam sumur yang kami bor, hanya satu sumur yang berhasil. Kami memiliki risiko yang sangat tinggi terkait peluang keberhasilan pengembangan panas bumi,” katanya.
Dengan risiko yang ada, di mana mereka tidak hanya menghasilkan dan mengoperasikan pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik, mereka juga harus menemukan dan membuktikan sumber energi, sehingga pengembang panas bumi mencari pengembalian atau return yang wajar yang dapat mengompensasi risiko yang ada.
Nisriyanto menekankan pentingnya dukungan pemerintah dalam menghadapi tantangan pengembangan panas bumi.
“Berbeda dengan minyak dan gas yang bisa diekspor ke berbagai pihak, panas bumi hanya menghasilkan listrik dimana PLN sebagai pembeli tunggal. Sebagai pembeli tunggal, PLN sangat diatur oleh pemerintah. Karena penjualan tenaga listrik ditentukan oleh pemerintah, begitu juga dalam penentuan subsidi,” katanya.
Dia berharap pemerintah dapat memberikan kebijakan yang tepat dalam menentukan harga dan subsidi dengan melihat jangka panjang. “Jika dibandingkan PLTU batubara, biaya pembangunan PLTP memang lebih mahal. Sebagai perbandingan, panas bumi untuk 1 MW menghabiskan biaya sekitar US$4-5 juta, sedangkan pembangkit listrik tenaga batu bara 2 MW menelan biaya US$2 juta karena pengembang panas bumi tidak hanya membangun pembangkit listrik tetapi harus mencari sumber bahan bakarnya terlebih dahulu. Namun, ada kemungkinan bahwa kondisi pasar dapat berubah. Seperti saat ini, harga batu bara melonjak hingga US$400 metrik ton dari sebelumnya US$60-80 per metrik ton, sehingga kebijakan yang dibuat juga harus dilihat dalam jangka panjang,” katanya.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi risiko besar dalam pengembangan panas bumi, Supreme Energy fokus menggarap proyek yang sudah memiliki PPA dengan PLN. “Kami lebih fokus menggarap aset yang ada dan meningkatkan produksi di ketiga proyek tersebut,” kata Nisriyanto menyimpulkan.