, Singapore

Siapa yang akan membeli Clean Development Mechanism Projects Asia Pasca-2012?

Pembatasan Eropa pada investasi bersih setelah 2012 membuktikan tantangan bagi pasar karbon Asia, kata seorang pakar.

Di sela-sela Clean Energy Forum 2011, Director of Carbon Markets and Environmental Products Research Barclays Capital, Trevor Sikorski, mengatakan kepada Asian Power bahwa banyak proyek CDM dihasilkan di Asia karena didukung oleh bias Eropa seperti adanya landasan permintaan.

Namun, Sikorski memperingatkan bahwa ada beberapa masalah yang sudah muncul karena berbagai pembatasan yang berlaku setelah 2012 yang akan mempersulit pembuatan proyek baru di sebagian besar Asia kecuali, negara maju di kawasan itu mengambil alih kepemimpinan dalam membiayai investasi bersih. Pembatasan utama misalnya proyek yang terdaftar setelah 2012 hanya memenuhi syarat jika berada di negara yang kurang berkembang.

“Akan lebih sulit untuk membiayai proyek CDM di Asia setelah 2012 yang menimbulkan pertanyaan apakah akan ada permintaan tambahan untuk dijual. Anda masih bisa melihat proyek CDM di Asia tetapi pertanyaannya adalah siapa yang akan membelinya jika Uni Eropa tidak membelinya? Saya pikir ini merupakan pertanyaan terbesar bagi CDM di Asia sekaligus menjadi faktor penting bagi Asia untuk memikirkan kembali bagaimana hal itu berinteraksi dengan pasar perdagangan karbon regional,” katanya.

“Bagian dari apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang adalah saya pikir semakin sedikit proyek yang akan dibiayai oleh Uni Eropa dan bagaimana Asia membiayai investasi mereka dalam investasi bersih, terutama dalam memobilisasi investasi mereka sendiri. Dan saya pikir hal  itu akan berubah dalam sepuluh tahun ke depan,” kata dia menambahkan.

Saat ini, Sikorski mengatakan bahwa pembeli potensial di wilayah tersebut mungkin termasuk Korea Selatan, Cina dan Jepang. Namun Jepang, menurut pakar tersebut, telah menunjukkan sikap yang kurang mendukung CDM di kawasan, yang  membuat prospek pasar karbon di Asia makin meragukan.

“Pemerintah Jepang lebih tertarik pada skema perdagangan bilateral dan saya pikir itu membuat perdagangan karbon lebih rumit daripada yang terlihat,” katanya.

Sikorski mencatat bahwa Australia berada di urutan berikutnya di antara pembeli potensial karena negara itu akhirnya membangun skema penetapan harga karbon.

“Saya pikir di Asia, di antara negara-negara yang menunjukkan kepemimpinan dalam permintaan adalah Australia karena skema perdagangan mereka saat ini sudah disahkan menjadi undang-undang dan itu saja dapat membuatnya menjadi potensi kredit internasional setidaknya pada 2015-2016,” katanya.


 

PT Jawa Satu Power mulai mengoperasikan pembangkit listrik tenaga LNG sebesar 1.760 MW di Indonesia

Pembangkit ini dapat memproduksi listrik untuk 4,3 juta rumah tangga.

Barito Wind Energy mengakuisisi mayoritas saham di PT UPC Sidrap Bayu Energi

Perusahaan ini akan memegang saham sebesar 99,99% di perusahaan tersebut.

Grup NEFIN bekerja ekstra keras dalam mengejar proyek-proyeknya

CEO Glenn Lim menjelaskan bagaimana keterlambatan berubah menjadi hal baik karena perusahaan bertujuan mencapai kapasitas 667 MW pada 2026.

Summit Power International menyediakan dukungan LNG yang vital untuk Bangladesh

Tanpa pasokan listrik cross-border, LNG diperlukan oleh negara yang menghadapi kendala geografis untuk menerapkan sumber energi terbarukan.

JERA, mitra unit PT PLN untuk pengembangan rantai nilai LNG

MOU juga mencakup studi kemungkinan konversi ke hidrogen, rantai nilai amonia.

VOX POP: Bagaimana teknologi vehicle-to-grid dapat meningkatkan transisi energi?

Teknologi vehicle-to-grid (V2G) dipandang sebagai inovasi revolusioner menuju ketahanan jaringan listrik dan peningkatan transisi energi yang kokoh.

IDCTA: Partisipasi global dapat meningkatkan penjualan kredit karbon Indonesia

Pasar karbon Indonesia yang baru dibuka memiliki sebanyak 71,95% kredit karbon yang belum terjual pada akhir 2023.

Bagaimana Asia Tenggara dapat mencapai potensi biogasnya

Kawasan ini hanya memiliki sekitar satu gigawatt kapasitas dengan Thailand, Indonesia, dan Malaysia memimpin dalam hal produksi.