, Philippines

Ada permintaan daya dalam peningkatan dukungan Nuklir di tengah target energi bersih

Indonesia dan Filipina sedang mencari kelayakannya untuk alternatif energi bersih

Sektor nuklir perlahan-lahan menjadi sorotan karena beberapa perusahaan dan negara sendiri telah berjanji untuk mencapai nol emisi pada paruh kedua abad ini. Dengan isu-isu seputar perubahan iklim dan polusi udara yang semakin jelas, peluang untuk sektor nuklir juga meningkat. 

Terlepas dari adanya pencapaian tersebut, operasi harian dan proyek energi nuklir terpengaruh ketika pandemi COVID-19 menghantam dunia, ditandai dengan beberapa negara yang terhenti operasinya saat memasuki kuartal kedua 2020. Infrastructure and Power & Renewables Analyst dari Fitch Solutions, Daine Loh, mencatat bahwa gangguan rantai pasokan, adanya headwind keuangan, dan gangguan aktivitas bisnis karena pandemi telah mengakibatkan penundaan yang signifikan di banyak proyek. 

“Ketika pasar pulih secara bertahap, kami berharap proyek-proyek ini akan dipercepat selama kuartal mendatang dan dimasukkan ke dalam prospek pertumbuhan kami selama beberapa tahun ke depan. Hal ini juga didukung oleh upaya stimulus fiskal yang sedang berlangsung di banyak negara dengan menggunakan pertumbuhan infrastruktur sebagai cara memulihkan ekonomi dari pandemi,” tambah Loh. 

Dengan pulihnya sektor ini dari dampak pandemi, serta janji netralitas karbon dari beberapa negara Asia, akan membuat nuklir menjadi lebih terlihat di pasar energi. 

Cek ombak

Filipina adalah salah satu negara yang memanfaatkan landmark ini. Negara tersebut sedang mencari kelayakan tenaga nuklir sebagai solusi alternatif untuk memenuhi permintaan daya yang meningkat dalam pergeseran dari pembangkit batubara dimana hal tersebut menjadi salah satu alasan utama untuk mendorong netralitas karbon, serta tujuan energi bersihnya. 

Pada bulan Desember 2020, Department of Energy (DOE) negara itu menyampaikan rancangan pengembangan tenaga nuklir kepada Presiden Rodrigo Duterte, yang dilaporkan sedang berdiskusi untuk menghidupkan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Bataan yang ditangguhkan sebelumnya. DOE juga telah bekerja erat dengan Badan Energi Atom Internasional mengenai pengembangan infrastruktur tenaga nuklir negara itu. 

Sementara itu, tidak ada keputusan formal yang dibuat tentang dimasukkannya tenaga nuklir dalam bauran energi antar negara, pertimbangannya menjadi positif di tengah-tengah dukungan dan kemitraan dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Rusia. Hal tersebut terlepas dari masalah iklim dan keamanan lainnya. 

Sebuah laporan dari Fitch Solutions juga telah menunjukkan bahwa tenaga nuklir dapat menawarkan solusi yang efektif untuk memenuhi permintaan daya yang meningkat selama dekade mendatang, karena faktor kapasitas yang tinggi sebagai sumber daya dengan beban dasar. Dalam hal ini juga diharapkan lonjakan permintaan daya selama beberapa tahun mendatang di tengah pertumbuhan makroekonomi dan demografis yang kuat, serta target pemerintah untuk mencapai tingkat elektrifikasi 100% pada tahun 2020. 

Oleh karena Filipina juga tengah menghadapi peningkatan pertentangan lingkungan karena ketergantungannya yang besar pada tenaga batu bara, maka tenaga nuklir akan lebih diterima oleh publik.

Namun, Energy Finance Analysts dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEFA) Putra Adhiguna, Elrika Hamdi, dan Sam Raynolds melaporkan bahwa tenaga nuklir di Filipina menghadapi banyak risiko teknis dan keselamatan lainnya yang tidak terselesaikan mengingat lokasi negara itu berada di Cincin Api Pasifik dan kerentanan terhadap bencana alam yang makin parah dan sering terjadi. 

“Proyek nuklir juga tertunda lebih sering daripada terlaksana, dan waktu konstruksi rata-rata untuk reaktor nuklir di seluruh dunia adalah sekitar 10 tahun. Setiap keterlambatan untuk memenuhi ambisi nuklir Filipina tersebut akan berisiko membuat negara bergantung pada bahan bakar fosil, ketimbang mempercepat transisi menuju sumber energi terbarukan yang lebih bersih dan lebih murah,” kata mereka. 

Menetapkan skenario net zero yang lebih realistis

Demikian pula Indonesia yang juga melihat kelayakannya pada tenaga nuklir sebagai solusi alternatif karena adanya peningkatan permintaan daya.

COVID-19 telah memperburuk pertumbuhan akan permintaan daya di negara ini, sementara perusahaan listrik nasional PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sedang berjuang dengan kapasitas berlebih yang dimilikinya sebagai jaringan terbesar dan paling mendatangkan profit. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia dan PLN baru-baru ini mengumumkan tindakan mereka untuk mencapai nol emisi pada tahun 2060, serta memasukkan nuklir dalam bauran energi pada tahun 2040.

“Nuklir dianggap sebagai cara untuk mengganti beban dasar batubara, tetapi baik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan PLN cukup realistis dalam pengembangan nuklir, karena mereka memasukkan nuklir pada tahun 2040,  tidak lebih awal seperti yang diinginkan oleh beberapa pendukung nuklir,” Kata para analis.

Meskipun demikian, mereka menambahkan bahwa dalam hal ekonomi, masih belum jelas apakah nuklir dapat bersaing dengan teknologi surya dan angin.

Laporan IEFA yang serupa, ditulis bersama Adhiguna dan Hamdi, mencatat bahwa sementara KESDM dan PLN harus dipuji atas komitmen mereka terhadap target mitigasi perubahan iklim jangka panjang. Namun pernyataan mereka tampaknya tidak sejalan dengan sektor energi mereka saat ini sekaligus dengan inisiatif kebijakan jangka menengah.

"Pengumuman terbaru PLN, untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 harus dipenuhi dengan hati-hati dan [diperiksa] dengan cermat karena jumlahnya jangan sampai menumpuk," kata laporan itu.

Adhiguna juga mencatat bahwa kesenjangan antara pengumuman nol emisi, serta hasil proses perencanaan tradisional KESDM dan PLN, meningkatkan kemungkinan bahwa rencana nol emisi masih dalam proses.

"Perubahan dan penyesuaian lebih lanjut diharapkan ketika para pemangku kepentingan memeriksa implikasi praktis dari rencana ini dan penyempurnaan yang muncul," kata Adhiguna.

Sementara itu, Hamdi menyatakan dalam laporan IEFA yang berbeda bahwa sementara nuklir menjanjikan sebagai pengganti beban dasar untuk tenaga batubara, dimana saat ini tidak memiliki kelayakan teknis, keuangan, atau pasar dalam konteks Indonesia.

Seperti Filipina, Indonesia juga memiliki ketergantungan besar pada batubara dimasa lalu. Meskipun demikian, dengan janji pemerintah Indonesian dan PLN akan netralitas karbon, akan mulai mengurangi aktivitas pembangkit listrik tenaga batu bara.

Menurut Hamdi, pendukung tenaga nuklir di Indonesia sering berjanji bahwa tenaga nuklir akan menjadi solusi yang terjangkau, aman, dan berkelanjutan untuk menghadapi masalah ketergantungan pada bahan bakar fosil.

“Menentukan kesesuaian nuklir untuk pasar energi di Indonesia akan menjadi tugas yang menantang yang akan membutuhkan kejujuran dan perjanjian menyeluruh oleh para pembuat kebijakan guna memastikan adanya tingkat akuntabilitas yang tinggi, dikarenakan diperlukannya informasi biaya sebenarnya termasuk bagaimana pemerintah akan menangani masalah limbah nuklir,” Kata Hamdi.

Dia menambahkan bahwa janji netralitas karbon PLN menunjukkan harapan realistisnya pada tantangan teknis, keuangan, dan pasar yang perlu diatasi jika tenaga nuklir ingin berhasil diintegrasikan ke dalam bauran energi Indonesia pada masa depan.

Lebih lanjut lagi, Hamdi menjelaskan bahwa sampai masalah ini diakui dan ditangani sepenuhnya, jalan yang aman bagi Indonesia untuk saat ini adalah berhenti sejenak dan menetapkan tujuan realistis untuk strategi pengembangan kekuatannya. Hal tersebut mencakup pengambilan keuntungan dari kelimpahan sumber daya energi terbarukan Indonesia dan kelayakan pasar.

Sentimen publik yang lebih menguntungkan

Di seluruh wilayah, Fitch Solutions mengharapkan pertumbuhan yang kuat dalam kapasitas nuklir selama dekade mendatang, tumbuh di sekitar 116,8 gigawatt (GW) pada akhir 2020 menjadi sekitar 164 GW pada 2030.

"Nuklir makin didorong sebagai alternatif energi bersih, dan kami melihat perubahan besar dalam sentimen dan beberapa pasar mempertimbangkan teknologi belakangan ini," kata Loh.

Dia menyebutkan bahwa ada juga peningkatan minat akan tenaga nuklir di beberapa pasar di wilayah ini selama dua tahun terakhir, termasuk Filipina dan Indonesia. Yang pertama sedang mempertimbangkan untuk memperkenalkan kembali nuklir ke dalam campuran daya listriknya, sementara yang kedua mulai melihat opini publik yang bergeser lebih baik ke arah nuklir.

"Ini bisa menimbulkan risiko terbalik bagi pasar dalam jangka panjang," kata Loh.

Namun, Fitch Solutions tetap berhati-hati di kedua pasar karena biaya modal yang tinggi, pertimbangan keselamatan, dan waktu tunggu yang lama. Sentimen ini juga mirip dengan prospek analis IEFA untuk sektor ini.

Menurut Adhiguna, Hamdi, dan Reynolds, tenaga nuklir tidak mungkin menjadi kenyataan di Filipina untuk masa mendatang karena biaya yang sangat besar, risiko keterlambatan, risiko teknologi yang terkait dengan jenis reaktor, dan risiko tanggung jawab yang datang dengan potensi kecelakaan nuklir.

"Ketika negara ini menyebarkan lebih banyak energi terbarukan untuk memenuhi target energi dan iklim yang bersih, tenaga nuklir yang tidak fleksibel kemungkinan akan usang demi kebaikan energi terbarukan domestik yang lebih murah," kata mereka.

Demikian pula, para analis memproyeksikan bahwa tenaga nuklir tidak mungkin muncul di Indonesia dalam waktu dekat. Mereka percaya bahwa sampai teknologi baru terbukti layak secara teknis dan finansial, kesempatan terbaik Indonesia adalah memanfaatkan sumber energi terbarukan yang melimpah yang hanya baru digunakan 2,5%.

"Lagipula, situasi pasar energi saat ini tidak mendukung untuk menambah beban dasar mahal yang tidak fleksibel ke sistem," tambah para analis.

Follow the link s for more news on

Jaringan listrik lemah Vietnam menghambat kebijakan pembelian listrik yang langsung

Infrastruktur energi yang buruk menghambat integrasi kapasitas baru dari proyek energi terbarukan (EBT).

Penutupan pembangkit listrik batu bara baru di ASEAN pada 2040 mungkin tercapai

Penambahan pembangkit batu bara baru dan retrofit pembangkit yang ada menjadi risiko lebih besar dalam transisi.

ADB menyetujui pinjaman senilai $500 juta untuk mendukung transisi energi Indonesia

Ini bertujuan membangun kerangka kebijakan yang kokoh dalam mendukung peralihan menuju energi bersih.

Avaada meningkatkan beban energi terbarukan untuk penuhi permintaan pusat data India

Perusahaan menargetkan kapasitas energi terbarukan sebesar 30 gigawatt pada 2030.

Asia-Pasifik mungkin tidak mencapai target energi terbarukan

Negara-negara di kawasan itu harus menarik investasi untuk memajukan tujuan energi bersih mereka.

Laba bersih Adaro turun 12% menjadi $880 juta di Semester 1

Pendapatan turun 15% menjadi $2,97 miliar pada periode tersebut.

ACEN dan Barito Renewables bermitra untuk mempercepat energi angin di Indonesia

Kemitraan ini akan dijalankan oleh anak perusahaan mereka.

Malaysia diminta mengintegrasikan jaringan listrik untuk mempercepat pertumbuhan tenaga surya

Pembatasan penetrasi tenaga surya ke jaringan pada 24% dari permintaan puncak dapat menghambat ekspansi.