Pemanfaatan energi terbarukan menjadi wajib untuk beberapa sektor industri di India
RUU tersebut akan memberlakukan perdagangan karbon dan konsumsi minimum sumber bahan bakar non-fosil.
Ketika pemerintah India meloloskan amandemen Undang-Undang Energy Conservation Act tahun 2001, beberapa sektor industri di India diwajibkan menggunakan sumber daya mereka yang berasal dari sumber energi terbarukan, atau mereka akan dikenakan sanksi hingga INR1m (INR10 lakh) bila tidak mematuhinya.
RUU Energy Conservation (Amandemen), 2022, atau RUU No.177-C 2022, disahkan oleh negara pada Agustus, dan mengamanatkan konsumsi energi minimum dari sumber bahan bakar non-fosil di sektor-sektor, seperti pertambangan, semen , tekstil, dan transportasi seperti kereta api, dan bangunan komersial.
Selain denda INR1 juta, mereka yang tidak mematuhinya juga dapat dikenakan hukuman tambahan tidak lebih dari dua kali lipat harga setiap metrik ton setara minyak yang ditentukan undang-undang, yang melebihi norma yang ditentukan.
“Mereka harus memenuhi sebagian kebutuhan energi mereka melalui energi bahan bakar non-fosil. Jadi saya pikir itulah dorongan dari sisi permintaan, yang coba didapatkan oleh undang-undang dengan mewajibkan ini di beberapa industri,” kata Vibhuti Garg, direktur Asia Selatan di Institute for Energy Economics and Financial Analysis.
Di bawah persyaratan yang diusulkan, pemerintah dapat menentukan standar proses dan konsumsi energi untuk peralatan, kendaraan, kapal, unit industri, bangunan, atau perusahaan. Bangunan, di bawah RUU, termasuk yang memiliki beban minimal 100 kilowatt atau 120 kilovolt ampere, akan digunakan untuk tujuan komersial, kantor, atau tempat tinggal
READ MORE: India renewables to rise by 35-40GW annually
Industri padat energi harus mendapatkan audit energi dan menyerahkan laporan status konsumsi energi pada akhir tahun anggaran kepada instansi yang ditunjuk. Mereka yang gagal untuk mematuhi akan bertanggung jawab hingga INR1m (INR10 lakh) dan mungkin dikenakan hukuman tambahan yang dapat diperpanjang hingga INR10.000 setiap hari untuk, berdasarkan RUU itu.
India, yang bertujuan untuk mencapai nol bersih pada 2070, berjanji untuk mengurangi intensitas emisi produk domestik bruto sebesar 45% pada 2030, dari level 2005, dan memiliki sekitar 50% dari total kapasitas tenaga listrik terpasang dari sumber daya bahan bakar non-fosil di periode yang sama, menurut pernyataan Ministry of Environment, Forest and Climate Change.
Menurut data Ministry of Power, per 30 Juni 2022 bahan bakar fosil menyumbang 58,5% dari total bauran energi India, sementara 41,5% sisanya berasal dari bahan bakar non-fosil. Dari bahan bakar fosil tersebut 50,7% bersumber dari batu bara.
Perdagangan karbon
Hal lain yang menonjol dari RUU tersebut adalah pengenaan skema perdagangan karbon. Berdasarkan langkah yang telah diusulkan, pemerintah pusat atau lembaga mana pun yang diberi wewenang akan menerbitkan sertifikat kredit karbon kepada entitas terdaftar yang memenuhi persyaratan. Entitas terdaftar akan memiliki keleluasaan untuk membeli atau menjual sertifikat.
Garg mengatakan skema tersebut akan memberikan dorongan untuk pengembangan energi terbarukan karena sebagian besar industri, setelah memenuhi persyaratan mereka, akan menukar kelebihannya dengan konsumen lain yang berjuang untuk mendapatkan atau menyiapkan alternatif energi bersih mereka.
“Itu memberi mereka banyak ruang lingkup di luar persyaratan mereka sendiri. Perdagangan karbon akan mendorong semakin banyak penyebaran energi bersih di negara ini, ” kata Garg menambahkan.
RUU ini juga melarang pembuatan atau impor peralatan, alat, kendaraan, atau kapal apa pun jika tidak mengikuti standar konsumsi energi.
Itu harus disetujui oleh Majelis Tinggi atau Rajya Sabha, dan kemudian ditandatangani oleh presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
Masa depan bahan bakar fosil
Secara umum, lebih mudah bagi industri untuk membiayai operasi mereka yang terkait dengan tujuan environmental, social, and governance (ESG), seperti pengurangan emisi karbon, kata Garg. Pelaku industri India juga memanfaatkan pembiayaan internasional melalui kumpulan ESG atau obligasi hijau.
Setelah langkah yang diusulkan tersebut disahkan, ditambah dengan adanya permintaan untuk memenuhi kewajiban penggunaan bahan bakar non-fosil, maka akan menurunkan permintaan batubara dari industri-industri ini.
Namun, Garg mencatat bahwa teknologi bersih, yang dikombinasikan dengan penyimpanan atau hidrogen hijau tetap mahal.
“Seiring berjalannya waktu, ketika harga energi terbarukan dan hidrogen hijau terus turun, sebagian besar perusahaan atau industri ini akan meningkatkan pangsa dari energi bahan bakar non-fosil dan mengurangi ketergantungan pada batu bara,” katanya.
Energi terbarukan menerima lebih banyak dana daripada batu bara untuk tahun ketiga secara berturut-turut pada 2020, menyumbang 74% dari total pinjaman $3,2 miliar selama periode tersebut, yang semuanya adalah tenaga surya dan angin. Ini adalah kenaikan 6% year-on-year dari 2019, menurut laporan oleh Climate Change and the Centre for Financial Accountability yang diterbitkan pada Desember 2021.
Energi terbarukan juga tetap kompetitif dalam hal biaya karena harganya terus menurun pada 2021, dengan biaya listrik dari angin onshore menurun sebesar 15%, angin offshore sebesar 13%, dan fotovoltaik surya sebesar 13% dibandingkan tahun sebelumnya.
Target yang bisa dicapai
Garg mengatakan mencapai 50% pada 2030 adalah target yang realistis karena India telah menetapkan target penyebaran besar-besaran untuk lebih banyak energi terbarukan yang mencakup kapasitas tenaga hidro walaupun sebagian besar akan didorong oleh tenaga surya.
Di sisi lain, Fitch Solution mengatakan dalam sebuah laporan bahwa India mungkin gagal mencapai targetnya pada 2030 dan energi terbarukan hanya akan mencapai 48% dari total bauran energi. Ia menambahkan bahwa negara tersebut mungkin juga tidak dapat memenuhi target kapasitas energi terbarukan sebesar 175GW pada 2022.
Berdasarkan pengumuman Sekretaris Ministry of New and Renewable Energy pada Agustus, menyatakan India akan gagal memenuhi target kapasitas terpasang tenaga angin 60GW pada akhir tahun dan target energi terbarukan secara keseluruhan.
“Kami percaya RUU tersebut merupakan upaya untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan di tahun-tahun mendatang karena akan mengamanatkan konsumsi listrik yang dihasilkan dari sumber bahan bakar non-fosil, serta meningkatkan adopsi energi terbarukan,” katanya.
“Kami masih memperkirakan adanya pertumbuhan energi terbarukan non-tenaga hidro di India, karena proposal amandemen tidak menyatakan persentase konsumsi listrik terbarukan. Pasar energi terbarukan non-tenaga air akan tumbuh rata-rata tahunan sebesar 9,3%, dari 100GW pada akhir 2021 menjadi 242GW pada 2031,” kata dia menambahkan.