Asia’s coal reliance to remain despite clean energy transition
HSBC melaporkan total konsumsi batubara kemungkinan akan mencapai puncaknya pada 2025.
Batubara akan tetap dominan di Asia karena kawasan ini terus bergantung pada batubara dalam beberapa tahun ke depan, terlepas dari target energi bersih yang “ambisius”, menurut laporan HSBC.
Dalam bagian pertama laporan transisi energi Asia, HSBC memproyeksikan bahwa total konsumsi batubara di Asia akan mencapai puncaknya paling cepat pada 2025.
Hal ini didasarkan pada pertumbuhan listrik yang kuat yang terlihat pada tahun-tahun mendatang serta rencana ekspansi kapasitas di beberapa negara.
“Porsi batubara akan menurun untuk sebagian besar negara pada 2030. Akan tetapi, menurut rencana terbaru pangsa kapasitas batubara terpasang akan tetap sama dengan level saat ini karena ekspansi kapasitas, di Filipina, Vietnam dan Indonesia,” kata sebagian laporan.
Selain itu, di India, pangsa batubara diperkirakan akan menurun secara substansial pada 2030 sejalan dengan rencana investasi terbarukan di negara tersebut.
Meskipun demikian, kapasitas batubara India akan meningkat selama lima tahun ke depan, berdasarkan pertumbuhan listrik yang kuat dan pembangunan pembangkit listrik batubara yang sedang berlangsung yang setara dengan 9% dari kapasitas terpasang India saat ini.
“Kami memperkirakan kapasitas batubara akan meningkat tajam hingga 2024 berdasarkan pembangkit yang saat ini sedang dibangun dan kemungkinan penghentian pembangkit,” kata HSBC.
“Konsumsi akan mencapai puncaknya di Cina pada 2024 dan di Asia pada 2025, setelah itu pengurangan kapasitas kemungkinan akan dilakukan secara bertahap.”
Disebutkan bahwa konsumsi batubara dapat mencapai puncaknya lebih awal dari 2025, asalkan pembangkit listrik tenaga batu bara “dipensiunkan” sebelum masa pakainya hingga 50 tahun atau dioperasikan di bawah kapasitas target.
Bagaimanapun juga, pendekatan ini memerlukan intervensi fiskal langsung mengingat banyak nyapembangkit listrik Asia yang berada di bawah produsen listrik independen.
Batubara menyumbang mayoritas pembangkit di Asia, masing-masing menyumbang sekitar 72% dan 65% dari total emisi di Cina dan Asia.
Hal ini tetap penting di tengah keterbatasan jaringan dan produksi terbarukan yang tidak stabil, menurut laporan HSBC.
Misalnya, saat pembangkit listrik tenaga air berjalan di bawah kapasitas karena kekeringan. Kemajuan dalam memasang kapasitas terbarukan di tenaga surya di India dan Vietnam juga menghadapi tantangan dari keterbatasan jaringan. Hal ini menyebabkan adanya permintaan tenaga batubara dalam jangka pendek.