, China

Penundaan pengembangan teknologi membuat momentum nuklir Asia memanas

Cina berupaya meningkatkan total kapasitas nuklirnya menjadi 58GW pada tahun 2020, tetapi entah target ini akan tercapai atau tidak bergantung pada kecepatan peningkatan peralatan dan kelebihan pasokan pada kapasitasnya.

Raksasa tenaga nuklir China mendorong pengembangan teknologi pembangkit listrik dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas operasionalnya dari 48,6GW pada September 2019 menjadi 58GW pada 2020. Namun, apakah target ini akan tercapai tepat waktu atau tidak, masih menjadi pertanyaan, karena pengembang dihadapkan pada penerapan teknologi yang tertunda dan kelebihan pasokan kapasitas.

Gloria Lu, Senior Director for Corporate & Infrastructure Ratings di S&P Global Ratings, berpendapat bahwa Cina mungkin sedikit kehilangan tujuannya untuk meningkatkan kapasitas operasinya menjadi 58GW dan 30GW dalam konstruksi pada tahun 2020 karena belum menyetujui pembangunan baru selama 2016-2018. "Setelah kecelakaan nuklir Fukushima, Cina membutuhkan reaktor generasi ketiga (3G) atau lebih maju untuk bangunan baru," kata Lu.

Tiga reaktor 3G pertama dari jenisnya (AP1000 dan EPR) yang di desain oleh negara lain telah selesai dan memulai operasi komersial pada paruh kedua 2018, tetapi mereka mengalami penundaan yang signifikan dan pembengkakan biaya. Ini membuat para pembuat kebijakan sangat berhati-hati dalam menyetujui pembangunan baru. “Reaktor air bertekanan AP-1000 Sanmen-1 (dirancang oleh US Westinghouse yang sekarang bangkrut) ditunda empat tahun dan mengalami kelebihan biaya 70%, sementara reaktor tekanan Eropa, yaitu Taishan (EPR yang dirancang oleh Framatome EDF) ditunda tiga tahun, dengan perkiraan kelebihan biaya 30%,” tambah Lu.

Keterlambatan dalam penyebaran reaktor 3G dapat ditelusuri kembali lewat adanya  perlambatan industri. David Fishman, consultant di The Lantau Group, mencatat bahwa setelah sukses dan dengan cepat menjalankan pengembangan proyek listrik dari 2008 hingga 2013, tahun 2014 kita menyaksikan bagaimana Cina telah berjuang namun tidak mampu memenuhi target dalam pemasangan kapasitas, dan kesenjangan yang makin meluas semenjak reaktor daya komersial terakhir dipasang (2016-sekarang).

Peluang yang terlewatkan

Target tenaga nuklir Cina untuk tahun 2020 telah meningkat sampai insiden Fukushima Jepang. Target 58GWe baru dikeluarkan di tahun 2014 dan telah diulangi kembali oleh para pemain industri dimana China Electricity Council (CEC) pada tahun 2019 secara resmi mengakui bahwa 53GWe pada tahun 2020 adalah angka yang lebih realistis. "Perhitungan akhir memang akan akan kehilangan sasaran, tetapi tidak sejauh ini, dengan kekurangan yang kurang dari 10%," kata Fishman.

Meleset dari target jelas merupakan pertanda adanya kemunduran industri, memang hal ini terlalu mudah untuk dibaca, kata Fishman. “Tidak ada kelemahan atau kegagalan terkait kemampuan konstruksi Tiongkok atau hilangnya dukungan kebijakan untuk nuklir secara umum. Memenuhi tujuan 2020 akan membutuhkan jumlah reaktor baru yang jauh lebih tinggi untuk menuangkan beton kembali pada 2014-2016, tetapi ini tidak terjadi."

Sebaliknya, Fishman mengutip bahwa kekurangan itu disebabkan oleh adanya dua inisiatif industri spesifik yang bekerja sama. “Pertama, rencana nuklir Cina pasca-Fukushima adalah menetapkan teknologi 3G yang lebih aman dan lebih disukai daripada unit 2G atau 2G +, dan bahwa tidak ada lagi unit 2G + yang akan disetujui (beberapa unit 2G + mulai dibangun pada 2015, tetapi mereka lebih disukai dalam persetujuan sebelum tahun 2013)."

Industri Cina juga mengikuti model pengembangan “demonstration plant first, mass deployment second”. Dalam model ini, semua pabrik first-of-a-kind (FOAK) yang sedang dibangun harus membuktikan operasi komersialnya yang telah berhasil sebelum mereka dapat melanjutkan pekerjaan konstruksi “Nth of a kind” (NOAK).

Secara keseluruhan, ini berarti bahwa unit 3G Cina yang sedang dalam proses konstruksi perlu diselesaikan sebelum konstruksi bangunan baru dapat disetujui. “Sayangnya, reaktor FOAK 3G yang sedang dibangun pada saat itu di Cina memiliki jadwal yang berlebih, rantai pasokan yang tertahan, dan rintangan teknologi — hampir tidak lazim untuk teknologi FOAK. Reaktor FOAK memiliki risiko lebih besar dalam hal waktu dan biaya untuk membangun daripada reaktor NOAK, dan khususnya dalam kasus ini, di mana pergeseran teknologi yang mendasarinya adalah hal yang utama (mis., dari 2G hingga 3G),” kata Fishman.

Ketika reaktor 3G yang dirancang oleh Cina, HPR1000, desainnya diselesaikan dan disetujui pada tahun 2015, dia diizinkan untuk segera memulai pembangunan lokasi untuk melakukan demo. Hasilnya adalah bahwa dari tahun 2013 hingga 2019, keseluruhan armada Cina yang sedang dibangun terdiri dari reaktor 2G + atau pendahulunya yang akan menjadi yang terakhir dari jenisnya, atau pabrik percontohan untuk desain 3G yang merupakan yang pertama dari jenisnya.

"Dengan tidak adanya bukti ketersediaan teknologi 3G, tidak dapat dihindari bahwa Cina akan kehilangan tujuan penyebarannya di tahun 2020  tanpa adanya pergantian dan perubahan kebijakan atau perubahan komitmen kepemimpinan terhadap energi nuklir," kata Fishman.

Faktor lain yang dapat memperlambat industri dan mengancam profitabilitas operator tenaga nuklir Cina adalah meningkatnya volume generasi yang diperdagangkan berdasarkan pasar yang kompetitif, menurut Lu.

“Volume yang tidak berada di bawah angka perdagangan pasar (masih sekitar tiga perempat dari total) dilindungi oleh tarif on-grid yang telah ditetapkan. Pada 2018, China General Nuclear Power Corp. (CGNPC) memiliki 23,8% pembangkit listrik tenaga nuklir yang diperdagangkan di pasar, rasionya adalah 27,0% untuk China National Nuclear Corp. (CNNC). Dengan latar belakang meningkatnya persaingan di pasar listrik, harga volume yang diperdagangkan di pasar umumnya harus didiskon yang mana cenderung melemahkan profitabilitas operator,” katanya.

Sementara Fishman mengakui adanya kemunduran pembangunan dalam beberapa tahun terakhir, peningkatan aktivitas sektor nuklir lebih memungkinkan untuk terjadi di waktu depan. "Cina masih tampak berkomitmen pada program nuklirnya dan telah membuat lebih banyak kemajuan di belakang layar dalam mengelola pergeseran teknologi dan rencana penyebaran dimana tidak seperti yang tampak dari luar selama ini," katanya.

Pada Q3 2019, industri tenaga nuklir Cina terdiri dari 47 reaktor listrik, dengan total perhitungan kasar sekitar 49GW listrik. Tiga perusahaan berbeda memiliki tanggung jawab atas pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir, dengan sebagian besar armada terpecah antara China General Nuclear (CGN) dan China National Nuclear Company (CNNC) serta perusahaan ketiga — State Power Investment Company (SPIC) — yang baru saja memulai dengan situs reaktor pertamanya.

Dengan beberapa pengecualian, armada terdiri dari reaktor air dengan tekanan berulang-ulang atau pressurised water reactors (PWR) berdasarkan rancangan dari  Prancis, Rusia, Amerika, dan Cina. Setelah bertahun-tahun tertunda, gelombang pembangkit pertama 3G di situs Sanmen, Haiyang, dan Taishan semuanya berhasil terhubung ke jaringan.

Dukungan pemerintah

Sebagai sumber energi bersih dan kebutuhan dasar listrik, tenaga nuklir didukung dengan baik oleh pemerintah dalam pengiriman pembangkit ke jaringan sebagai prioritas sebelum tenaga batubara, kata Lu. Sebagian besar kemajuan Cina dalam pengembangan nuklir dari dekade terakhir menghasilkan peningkatan daya saing dari sisi biaya dibandingkan jenis bahan bakar lainnya.

“Regulator juga menetapkan kebijakan waktu pemanfaatan minimum provinsi untuk memastikan konsumsi tenaga nuklir yang wajar dalam mempertahankan efisiensi operasional yang relatif tinggi. Pada 2018, pemanfaatan rata-rata tenaga nuklir adalah 80%, dibandingkan dengan 50% untuk tenaga panas bumi, 24% untuk angin, dan 13% untuk matahari,” kata Lu.

Dia juga mengutip penelitian yang didukung Datang Power yang mengatakan levelized cost of energy (LCOE) dari tenaga nuklir berada di peringkat terendah kedua di Cina, hanya lebih tinggi dari tenaga air. "Rezim peraturan saat ini pada dasarnya menempatkan tenaga nuklir sebagai biaya-kompetitif seperti tenaga batubara karena mendefinisikan on-grid tariffs tenaga nuklir dengan jumlah yang lebih rendah dari RMB0.43 / kWh dan tarif daya batubara dengan patokan lokal," katanya.

Biaya konstruksi reaktor Generasi II yang baru saja selesai adalah antara RMB14.000-15.000 per kW (setara dengan sekitar $ 2000 / kW, jauh di bawah biaya pembangunan baru di pasar negara maju), sementara reaktor Generasi III baru dianggarkan pada RMB17.000-18.000 (sekitar $ 2.500- $ 2.600). Ini dibandingkan dengan biaya konstruksi sebesar RMB6000-RMB7000 per kW untuk angin dan RMB4000-RMB5000 per kilowatt untuk surya di Cina saat ini.

Fishman setuju dan mengatakan bahwa selain dari tujuan spesifik nuklir, narasi tentang tujuan iklim energi yang lebih luas untuk negara juga akan relevan. “Misalnya, FYP ke-13 (2016-2020) mencakup komitmen untuk mencapai 20% dari konsumsi energi primer dan 50% dari konsumsi listrik yang berasal dari sumber-sumber non-fosil pada tahun 2030 — angka ini kemungkinan akan diperbarui untuk FYP ke-14, dengan nuklir yang memainkan peran penting dalam transisi itu."

Proyek-proyek masih on the track

Sebaliknya, pembangunan reaktor 3G HPR1000 Cina sendiri masih berada di jalur yang sesuai dengan jadwal pada awal tahun 2020. Pada tahun 2019, tiga unit reaktor baru (total 3.4GW) disetujui untuk konstruksi, di mana dua adalah reaktor HPR1000 (dikembangkan dari G-II PWR  untuk reaktor tekanan air, yang lama digunakan di Cina) dan yang lainnya adalah CAP1400, versi yang diperbesar dari AP1000 dengan hak kekayaan intelektual yang dimiliki Cina.

“Dalam pandangan kami, ketegangan perdagangan yang berkepanjangan antara AS dan Cina serta konfrontasi teknologi jangka panjang dari dua negara tersebut dapat membentuk kembali pilihan teknologi tenaga nuklir Cina. Kami mengukur Cina dapat memprioritaskan reaktor HPR1000 dan CAP1400 untuk bangunan baru,” kata Lu.

Grup Lantau juga mencatat bahwa di antara reaktor yang disetujui dan direncanakan setidaknya 36 unit terletak di wilayah pedalaman di mana pembangunannya telah dibekukan sejak kecelakaan Fukushima pada 2011. Pembangunan yang dibekukan termasuk berada di pedalaman yang disetujui hanya dalam beberapa bulan lagi dari penuangan beton pada tahun 2011, tetapi sekarang harus menunggu sampai periode FYP ke-14 berikutnya yang dimulai pada tahun 2021 untuk memulai konstruksinya. Semua reaktor PWR saat ini sedang dibangun dan akan berada di level gigawatt atau lebih besar.

Selain unit-unit yang sedang dibangun, 45 unit telah mendapatkan persetujuan lokasi dan berada dalam berbagai tahap pra-konstruksi, termasuk beberapa yang telah menyelesaikan semua persiapan yang diperlukan untuk mulai menuangkan beton dan hanya menunggu penerbitan lisensi konstruksi mereka. "Di luar ini, pipeline jangka panjang mencakup setidaknya ada 60 unit reaktor yang diusulkan oleh pemerintah provinsi atau kota setempat yang saat ini dijalankan melalui persyaratan peraturan untuk persetujuan lokasi (laporan keselamatan seismik, evaluasi dampak lingkungan, dll)," kata Fishman.

Kegagalan Jepang

Sementara Cina berada di jalur untuk menghidupkan kembali industri tenaga nuklirnya, hal tersebut berbeda dengan negara tetangganya, Jepang. Hampir satu dekade setelah kecelakaan pembangkit nuklir Fukushima, Jepang masih berjuang untuk memulai kembali reaktor nuklirnya yang saat ini sedang tidak bergerak. Pemerintah bahkan mengurangi peningkatan pangsa tenaga nuklirnya kembali menjadi sekitar 20% pada tahun 2030 dari 5% saat ini.

Para analis sangat agresif dalam persoalan pencapaian target nuklir negara dimana S&P Global Platts 'Lu memproyeksikan bahwa pembangkit nuklir Jepang hanya akan mewakili 9% pada tahun 2030 sementara Fitch Solutions memperkirakan 8,4% pada tahun 2029. Jeratan di sekitar proyek nuklir baru makin ketat bukan hanya karena ada tentangan dari publik tetapi juga karena memperkuat tuntutan peraturan dan adanya peningkatan biaya yang mulai terjadi.

Menurut Fitch Solutions, sikap keras Nuclear Regulation Authority (NRA) tentang langkah-langkah kontra terorisme akan membebani operasi pembangkit listrik tenaga nuklir dalam waktu dekat. Pada pertengahan tahun 2019, NRA menolak aplikasi untuk memperpanjang tenggat waktu untuk melakukan langkah-langkah keamanan tambahan di sejumlah pembangkit listrik tenaga nuklir Jepang dan menyetujui aturan baru yang akan memungkinkan penangguhan operasi di fasilitas dimana mendukung pusat kendali yang tidak diselesaikan dalam masing-masing tenggat waktu. 

Akibatnya, baik Kansai Electric Power dan Kyushu Electric Power baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka telah mematikan reaktor nuklir masing-masing dimana mereka akan meleset dari tenggat waktu NRA mereka. Kyushu Electric Power telah mengumumkan penghentian Sendai No.1 dan No.2, masing-masing selama 8 bulan dari Maret dan Mei 2020, sementara KEPCO akan menangguhkan operasi di Takahama No.3 dari 2 Agustus hingga 22 Desember 2020, dan Takahama No. 4 dari 7 Oktober 2020 hingga 10 Februari 2021.

Menurut S&P Global Platts, tercapainya target sebesar 20% akan menghasilkan permintaan 30 reaktor nuklir kembali, tetapi upaya semacam itu akan membutuhkan biaya tambahan, yang akan melemahkan profitabilitas dan arus kas operasi mereka selama bertahun-tahun kedepan. "Biaya aset dan biaya yang diperlukan bagi operator nuklir Jepang untuk memenuhi standar keselamatan tambahan regulator dan untuk melindungi terhadap potensi bencana alam yang parah atau serangan teroris diperkirakan sekitar $ 44b (JPY4.8t) secara total, tiga kali lipat dari 2013," kata Lu .

Tekanan pada utilitas Jepang hanya bisa sedikit dikurangi dengan skema penetapan harga pemerintah Jepang yang mendukung penonaktifan reaktor nuklir. “Regulator baru-baru ini mengizinkan operator reaktor nuklir untuk melewati biaya penonaktifan hingga tarif dalam jangka panjang. Akibatnya, dalam pandangan kami, dukungan pemerintah agaknya dapat mengurangi beban biaya tambahan untuk operator reaktor nuklir,” tukas Lu.

Pertanyaan nuklir ASEAN

Seperti pendekatan terhadap transformasi tenaga nuklir di Asia Timur, regulator di wilayah terdekat bagian tenggara masih menemui jalan buntu tentang cara menyuntikkan sumber daya ke dalam bauran listrik masing-masing. Salah satu negara Asia Tenggara dengan rencana pembangunan yang ditangguhkan adalah Vietnam. Sebelumnya, National Assembly pada tahun 2009 menyetujui kebijakan investasi untuk proyek yang terdiri dari dua pembangkit listrik tenaga nuklir di Vietnam tengah selatan, Ninh Thuan 1 dan Ninh Thuan 2, masing-masing dengan kapasitas terpasang 2GW. Institusi nasional akhirnya mengeluarkan resolusi untuk menunda proyek ini pada November 2016.

Sementara Vietnam tidak memiliki proyek tenaga nuklir yang sedang berlangsung, Dang Chi Lieu, partner di Baker McKenzie mengatakan bahwa dalam jangka panjang, sumber daya tidak akan sepenuhnya tidak dipertanyakan karena efisiensi biaya sumber daya lain untuk listrik beban-dasar sedang diteliti.

“Di Vietnam Energy Forum yang diadakan kembali oleh Ministry of Industry and Trade (MOIT) pada bulan Agustus, ada proposal yang karena permintaan energi yang tinggi, impor LNG dan batubara lebih lanjut tidak dapat dihindari walaupun mungkin tidak hemat biaya serta menciptakan risiko lingkungan. Selain itu, meskipun energi terbarukan memiliki potensi tinggi, ketidakstabilannya karena ketergantungan cuaca akan menjadi masalah, ”kata Dang.

Vietnam juga sebelumnya diikutkan dalam Power Development Plan (PDP) VII yang mana pembangkit listrik tenaga nuklir pertamanya dapat mulai beroperasi pada tahun 2028. Pada tahun 2030, sumber tenaga nuklir harus mencapai kapasitas 4.600 MW dan menghasilkan sekitar 32,5 miliar kWh. Dengan demikian, pada tahun 2030, tenaga nuklir akan mengambil hingga 5,7% dari total produksi listrik. Dang mencatat, bagaimanapun, ini relatif rendah dibandingkan dengan tenaga thermal berbahan bakar batubara (53,2%), daya gas - termasuk LNG (16,8%), tenaga air (12,4%) dan sumber terbarukan lainnya (10,7%).

Target dan kemungkinan dimulainya kembali pengembangan tenaga nuklir masih akan tunduk pada kebijakan nasional, yang akan diatur oleh PDP VIII baru untuk periode 2021-2030, dengan visi menuju 2045. MOIT diharapkan untuk menyelesaikan rencana ini pada tahun 2021, kata Dang.

Program nuklir lain juga sedang dikerjakan lebih jauh ke arah timur Filipina. Sebelum 2019 berakhir, kementerian energi negara itu menyelesaikan fase pertama misi Integrated Nuclear Infrastructure Review (INIR) dengan Atomic Energy Agency (IAEA).

Filipina perlu mengatasi dan memenuhi 19 persyaratan infrastruktur IAEA sebelum dapat berhasil memulai program energi nuklir secara penuh.  

Jaringan listrik lemah Vietnam menghambat kebijakan pembelian listrik yang langsung

Infrastruktur energi yang buruk menghambat integrasi kapasitas baru dari proyek energi terbarukan (EBT).

Penutupan pembangkit listrik batu bara baru di ASEAN pada 2040 mungkin tercapai

Penambahan pembangkit batu bara baru dan retrofit pembangkit yang ada menjadi risiko lebih besar dalam transisi.

ADB menyetujui pinjaman senilai $500 juta untuk mendukung transisi energi Indonesia

Ini bertujuan membangun kerangka kebijakan yang kokoh dalam mendukung peralihan menuju energi bersih.

Avaada meningkatkan beban energi terbarukan untuk penuhi permintaan pusat data India

Perusahaan menargetkan kapasitas energi terbarukan sebesar 30 gigawatt pada 2030.

Asia-Pasifik mungkin tidak mencapai target energi terbarukan

Negara-negara di kawasan itu harus menarik investasi untuk memajukan tujuan energi bersih mereka.

Laba bersih Adaro turun 12% menjadi $880 juta di Semester 1

Pendapatan turun 15% menjadi $2,97 miliar pada periode tersebut.

ACEN dan Barito Renewables bermitra untuk mempercepat energi angin di Indonesia

Kemitraan ini akan dijalankan oleh anak perusahaan mereka.

Malaysia diminta mengintegrasikan jaringan listrik untuk mempercepat pertumbuhan tenaga surya

Pembatasan penetrasi tenaga surya ke jaringan pada 24% dari permintaan puncak dapat menghambat ekspansi.