Bertahan di tingkat pertumbuhan Geothermal yang rendah
Penggerak pertumbuhannya sangat sedikit, terutama yang berada di daerah yang aktif secara tektonik
Sektor panas bumi Asia Pasifik telah terhenti akibat terdampak pandemi COVID-19. Semua ini terlepas dari meningkatnya permintaan akan tenaga panas bumi di tengah janji atas netralitas karbon dari beberapa perusahaan dan negara selama beberapa tahun terakhir.
Sementara peluang untuk pasar terus muncul, pertumbuhan aktual baru-baru ini didorong hanya oleh beberapa pasar dikarenakan pembatasan geografis dan banyaknya kendala karena pandemi.
Infrastructure and power and renewables analyst dari Fitch Solutions, Daine Loh, mencatat bahwa peluang tarif panas bumi tergantung pada lokasi potensi sumber daya.
“Kami benar-benar melihat dinamika ini hanya dapat bermanfaat untuk dijalankan di Selandia Baru, karena sektor panas bumi dapat mencapai 100% energi terbarukan (termasuk tenaga air) pada tahun 2030; target yang baru-baru ini diajukan adalah lima tahun dari 2035,” kata Loh.
Selain itu, pasar harus dipenuhi dengan hati-hati di antara masalah gangguan rantai pasokan, hambatan keuangan, dan gangguan aktivitas bisnis dari pandemi. Di Asia Pasifik, pemulihan panas bumi akan didorong terutama oleh Indonesia dan Filipina, dua raksasa panas bumi di kawasan ini berbasis pembangkit listrik.
Prioritas utama
Meskipun pertumbuhan panas bumi Indonesia sedang cenderung datar, namun pengeboran eksplorasi yang dipimpin pemerintah sedang dimulai di beberapa daerah.
Menurut energy finance analysts dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEFA) —Putra Adhiguna, Elrika Hamdi, dan Sam Raynolds—kampanye ini diharapkan dapat membantu menurunkan risiko bagi calon investor, dan untuk mempersempit kesenjangan antara harapan investor dan harga pembelian daya yang dapat diberikan oleh perusahaan negara, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
"Perkembangan baru ini juga diikuti dengan meningkatnya minat dalam memanfaatkan sumur eksplorasi slim-hole untuk menurunkan biaya dan lebih jauh mengurangi risiko eksplorasi," kata para analis.
Mereka juga mencatat bahwa tarif tetap menjadi tantangan utama, dan investor sedang menunggu penerbitan peraturan presiden tentang tarif energi terbarukan yang kemungkinan akan menentukan prospek masa depan untuk pasar panas bumi Indonesia.
Sementara itu, Loh mencatat bahwa memperluas industri panas bumi adalah prioritas utama bagi pemerintah Indonesia mengingat potensi besar untuk pembangkit listrik panas bumi di negara itu, yang diperkirakan mencapai 28 gigawatt (GW). Pemerintah juga menargetkan kapasitas tenaga panas bumi sebesar 7 GW pada tahun 2030 sebagai bagian dari rencana ekspansi pemerintahan Joko Widodo.
"Meskipun perkiraan kami saat ini, ada potensi kenaikan yang signifikan mengingat sejumlah kebijakan yang mendukung untuk membantu memenuhi target ini," kata Loh.
Adhiguna, Hamdi, dan Reynolds menunjukkan bahwa potensi pertumbuhan di Indonesia akan bergantung pada peraturan presiden yang ditunggu-tunggu dan hasil dari pengeboran eksplorasi yang dipimpin pemerintah. Juga, dikarenakan belum ada konsensus tentang bagaimana menempatkan nilai pada panas bumi sebagai daya beban dasar di tengah variabel pertumbuhan kapasitas energi terbarukan di Indonesia.
"Menemukan keseimbangan yang tepat antara tarif, profil risiko, dan nilai panas bumi sebagai daya beban dasar adalah beberapa hal yang perlu dieksplorasi oleh industri dan pembuat kebijakan lebih lanjut untuk berhasil mempromosikan panas bumi pada masa depan," kata mereka.
Memperbaiki proyek
Kapasitas panas bumi Filipina tampaknya juga telah terhenti. Pada April 2021, total kapasitas panas bumi terpasang di negara itu mencapai 1.928 megawatt (MW) dan menyumbang 11% dari total pembangkit listrik negara tersebut, meskipun begitu ada satu proyek panas bumi baru yang akan beroperasi setelah tidak aktif semenjak 2008.
Para analis IEFA mencatat bahwa meskipun pemerintahnya telah berkomitmen untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 75% pada tahun 2030, entah itu akan memberikan insentif atau tidak yang jelas peraturannya masih harus dilihat.
“Kelompok-kelompok industri di Filipina telah meminta insentif investasi dalam bentuk asuransi, dana mitigasi risiko, atau pembagian biaya untuk pengeluaran modal tinggi yang diperlukan dalam tahap pengeboran atau pengembangan awal. Namun, proposal ini tampaknya hanya mendapat sedikit peminat hingga saat ini,” kata mereka.
Mereka menambahkan bahwa negara telah siap untuk tumbuh dalam jangka menengah, lewat beberapa proyek dengan tambahan 170 MW kapasitas panas bumi baru pada tahun 2030. “Meskipun mungkin butuh beberapa tahun, ditambah insentif keuangan dari pemerintah dapat memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk akhirnya mendapatkan proyek secara online."