Model pengembangan bertahap KS Orka meningkatkan keberhasilan proyek panas bumi
Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan dapat memitigasi risiko kerugian $5 juta dari pengeboran satu sumur.
Dalam hal pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi, pendekatan tradisional bisa berisiko dan memakan waktu. Namun pengembang pembangkit listrik Indonesia KS Orka telah menemukan solusinya: yaitu model pembangunan bertahap. Model ini memungkinkan KS Orka untuk meminimalkan risiko dan biaya operasional, mengubah setiap sumur dengan tekanan 4 bar atau lebih menjadi listrik. Hal ini tidak hanya mengurangi risiko pengeboran sumur yang tidak menghasilkan pendapatan, tetapi juga mempercepat proses pembangunan yang hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk mencapai target kapasitas 220 MW. Kemudian dengan menggunakan expander sebagai pengganti turbin, perusahaan ini mampu menyederhanakan konversi energi menjadi listrik.
Setidaknya ada dua pembiayaan kritikal bagi pengembang panas bumi, yakni biaya pengeboran dan pembangunan pembangkit listrik yang memakan sekitar 80% dari total pembiayaan sebuah proyek. “Sehingga jika kami dapat melakukan efisiensi biaya, mempercepat waktu pembangunan pembangkit dan mengurangi risiko pengeboran, pada akhirnya kami dapat melaksanakan proyek dengan nilai bisnis yang diharapkan oleh investor,” kata Riza Pasikki, Chief Operating Officer & Chief Technology Officer KS Orka kepada Asian Power.
KS Orka menerapkan model pengembangan bertahap menggunakan konsep pembangkit listrik modular dengan teknologi dari Kaishan Manufacture yang menjadi sponsor mereka. Teknologi pembangkit listrik Kaishan memiliki fleksibilitas tinggi dalam hal karakteristik sumur. Sumur dengan tekanan rendah (3 bar) masih dapat digunakan untuk pembangkit listrik sehingga risiko bawah permukaan yang merupakan salah satu risiko terbesar dalam pengembangan panas bumi dapat diminimalkan.
Model pengembangan bertahap
Model pengembangan bertahap dilakukan KS Orka melalui dua pembangkit listrik panas bumi, yakni Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) di Sumatera Utara dan Sokoria Geothermal Indonesia (SGI) di Nusa Tenggara Timur. Riza mengatakan bahwa ini berbeda dengan kebanyakan pengembang lain melakukannya secara serial. Menurut Riza, model bertahap ini jauh lebih efisien dalam meminimalkan waktu pengembangan dan mengurangi investasi awal, yang pada gilirannya akan mengurangi waktu pengembalian model investasi.
“Sejauh ini, para pengembang telah melakukannya secara serial. Artinya, ketika mereka menargetkan pembangunan 240 MW, setelah proses eksplorasi, mereka akan terlebih dahulu mengebor sumur-sumur secara masif untuk memastikan kebutuhan steam cukup untuk pengoperasian pembangkit listrik berkapasitas 240 MW tersebut, kemudian mereka bisa memasuki tahap konstruksi dan memulai operasional,” kata Riza.
Menurut Riza, cara ini biasanya memakan waktu lama, bahkan bisa sampai sepuluh tahun. Sedangkan dengan pengembangan bertahap, waktu yang dibutuhkan jauh lebih singkat. Misalnya, pengembangan SMGP Unit-1 berkapasitas 45 MW selesai hanya dalam waktu 3 tahun setelah sumur eksplorasi dibor, disusul Unit-2 dalam 20 bulan.
“Beda dengan kami yang menerapkan pembangunan bertahap,” jelas Riza. Dia mencontohkan model bertahap dalam proyek SMGP dengan membagi pembangunan 240 MW menjadi 5 fase. Tahap pertama (45 MW) mulai beroperasi pada akhir 2019, tahap kedua (45 MW) pada 2021, dan tahap ketiga (50 MW) telah beroperasi sejak Oktober 2022. Unit keempat (50 MW) yang sedang dibangun diharapkan mulai beroperasi pada akhir 2023 dan unit kelima (50 MW) pada tahun berikutnya sehingga total pembangkitan sebesar 240 MW dapat dicapai pada akhir 2024.
Teknologi yang digunakan juga memungkinkan proses fabrikasi dan pemasangan yang lebih cepat dan sangat fleksibel terhadap tekanan dan kondisi entalpi sumur. “Di dua proyek kami, sumur dengan kinerja apapun tetap bisa dikonversi menjadi listrik. Jadi tidak ada sumur yang tidak berfungsi,” kata Riza.
“Penerapan teknologi modular juga memungkinkan penempatan masing-masing pembangkit dekat dengan sumur (decentralized wellhead power plant) sehingga mengeliminasi kehilangan energi saat mengalirkan uap dari sumur ke pembangkit yang terletak di pipeline seperti yang terjadi pada proyek panas bumi yang. umumnya dikembangkan secara terpusat,” kata Riza menambahkan.
Selain itu, setiap pembangkit listrik modular beroperasi secara independen, sehingga memudahkan proses pemeliharaan dengan faktor ketersediaan yang terjaga. Tercatat SMGP Unit-1 45 MW yang terdiri dari 18 pembangkit modular masih dapat menjalani proses pemeliharaan sesuai standar namun tetap dapat mempertahankan faktor ketersediaan di atas 95%.
Expander yang lebih sederhana
Untuk mendukung model ini dengan lebih baik, KS Orka tidak menggunakan teknologi turbin seperti pengembang panas bumi yang lain. Perusahaan menggunakan screw expander. Menurut Riza, struktur expander jauh lebih sederhana daripada turbin, bagian yang bergerak lebih sedikit dan dapat diandalkan. Screw expander pada generator modular ini dapat diterapkan pada berbagai kebutuhan operasi dan karakteristik sumur yang berbeda.
“Dengan menggunakan expander tidak akan ada pemboran sumur yang terbuang, berbeda dengan turbin yang membutuhkan tekanan uap yang sama dari semua sumur produksi. Sedangkan dengan expander, berbagai karakteristik sumur dengan tekanan dan entalpi yang berbeda tetap dapat digunakan untuk menghasilkan listrik," kata Rizka.
“Selain itu, strukturnya lebih sederhana sehingga pengoperasiannya juga lebih mudah dan permisif terhadap konsentrasi NCG (non-condensible gas) dan droplet cairan bahkan partikel padat kecil yang terkandung dalam uap dari sumur produksi. Kandungan NCG meningkat, tidak mengurangi efisiensi kerja expander secara signifikan," kata Riza menambahkan.
KS Orka juga melakukan terobosan di area bawah permukaan termasuk pengeboran. Misalnya dalam pemilihan rig fit-for-purpose pada proyek SMGP yang sudah tidak dalam tahap eksplorasi di mana kondisi reservoir dan kedalaman sumur yang akan dibor sudah ditentukan dengan baik yaitu tidak lebih dari 3.000 meter.
Dengan pemahaman tersebut, rig dengan kapasitas 1.000 HP sudah cukup untuk mencapai target pengeboran sehingga penghematan terutama biaya bahan bakar yang bisa mencapai 12% dari biaya proyek dapat terwujud. “Pengeboran di SMGP dengan biaya antara $3,5 - 4 juta per sumur termasuk rendah dibandingkan dengan pengembang lain di Pulau Sumatera," kata Riza.
“Itu juga keuntungan kami sehingga pada akhirnya kami bisa menekan biaya dan mampu menyediakan listrik dengan harga di bawah Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Perusahaan Listrik Negara (PLN), 8,1 sen/KWH di SMGP dan 12,5 sen/KWH di SGI. Hal ini kami lakukan untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan energi panas bumi tidak hanya bersih dan andal, tetapi juga terjangkau," kata Riza. “Tentunya semua terobosan yang telah dilakukan oleh KS Orka juga dilakukan dengan tidak sedikit pun mengurangi kepedulian terhadap keselamatan dan lingkungan,” katanya menambahkan.
KS Orka saat ini telah melakukan beberapa kontrak proyek dengan PLN. Yang pertama adalah proyek SMGP dengan kapasitas terpasang saat ini sebesar 140 MW melalui PLTP unit 1, 2, dan 3. Pengembangan lapangan SMGP terus berlanjut hingga mencapai kapasitas pembangkit sebesar 240 MW pada 2024. Proyek kedua, SGI, dimulai dengan unit pertama sebesar 5 MW di Maret 2022. “Tahun depan pada Maret kita akan memasuki Commercial Operations Date (COD) unit kedua yang saat ini dalam tahap konstruksi 3 MW, kemudian di 2024 akan ada penambahan 11 MW. Terakhir, pada 2025 akan ada tambahan 11 MW. Jadi totalnya 30 MW," kata Riza.
Riza juga menyampaikan bahwa peluang pengembangan panas bumi di Indonesia masih sangat besar. Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia namun pemanfaatannya masih sangat kecil, kurang dari 10%. KS Orka, kata Riza, juga akan membuka peluang sebagai penyedia teknologi bagi pengembang panas bumi yang ingin menggunakan dan mengimplementasikan teknologi KS Orka.