Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan energi nuklir dan panas bumi?
Indonesia ingin memajukan sektor tersebut meskipun ada banyak rintangan.
Para ahli yang mendengarnya mungkin akan merasakan bahwa hal tersebut terlalu ambisius, tetapi Indonesia telah menjelaskan bahwa nuklir dan panas bumi adalah target energi realistisnya.
Indonesia berencana untuk menghasilkan 6023 MW tenaga panas bumi pada tahun 2020, tetapi para ahli memperingatkan bahwa negara tersebut mungkin akan gagal memenuhi target tersebut dikarenakan tantangan regulasi ditambah dengan biaya eksplorasi yang sangat tinggi.
“Biaya naik tajam saat pengeboran dan konstruksi dimulai. Sebelum itu, biayanya sangat rendah sehingga dapat didanai hampir seluruhnya oleh ekuitas. Satu kegiatan saja dapat menelan biaya hingga USD 50 juta, belum termasuk biaya lainnya. Seseorang harus menanggung risiko, apakah itu pemilik proyek atau pemerintah,” kata Sugeng Triyono, president director PT Tangkuban Parahu Geothermal Power dalam acara Asian Power Utility Forum di Jakarta.
Triyono juga berpendapat bahwa target Indonesia mungkin terlalu tajam. Dia menunjukkan bahwa pada 2016, energi panas bumi hanya 1,1% dari seluruh pangsa energi terbarukan; pada tahun 2025, Indonesia bertujuan untuk meningkatkannya menjadi 5,8%.
Untuk mencapai target ini, Indonesia perlu menambahkan sekitar 300 Mw energi panas bumi per tahun, yang berarti mengebor sekitar 60 sumur per tahun.
"Industri tidak dapat mendukung pengembangan panas bumi Indonesia," kata Triyono.
“Aset panas bumi Indonesia sangat menarik bagi sektor swasta. Ada solusi pembiayaan untuk ini murni secara non-recourse. Misalnya, ADB dapat menyediakan dana untuk eksplorasi, dan bahkan IFC memiliki solusi untuk proyek-proyek panas bumi ini. Segera, pembiayaan akan tersedia untuk industri panas bumi di Indonesia,” kata Gilles Pascual, partner, Ernst & Young, Infrastructure Advisory.
Jelas yang hilang adalah kerangka kerja untuk energi terbarukan. Kami masih belum memiliki kerangka kerja regulasi yang solid untuk panas bumi, misalnya," tambah Pascual.
Peter Wijaya, vice president, Commercial and Business Development di Star Energy, menambahkan bahwa pembagian risiko untuk proyek-proyek panas bumi yang padat modal adalah perhatian utama bagi pengembang dan investor.
"Pendanaan untuk eksplorasi itu sulit — investor harus mengambil risiko penuh," katanya. Akibatnya, produsen listrik independen seperti Star Energy harus menjaga ketat biaya eksplorasi, dengan lebih banyak anggaran yang dihemat untuk bidang-bidang yang berisiko rendah dan yang sudah terbangun daripada mengeksplorasi proyek-proyek “greenfield” yang belum dimanfaatkan.
“Pertama-tama, risiko eksplorasi sangat mirip dengan minyak dan gas. Namun pendapatan dari panas bumi tidak setinggi minyak dan gas. Ruang penampung panas bumi jauh lebih kompleks daripada (Oil & Gas) O&G. Kami hanya menganggarkan untuk eksplorasi,” katanya, menambahkan bahwa menjelajahi sumur bisa menelan biaya US $ 7 juta hingga US $ 10 juta per sumur."
“Peja jalan atau roadmap Energinya pada awalnya bahkan tidak termasuk panas bumi. Energi terbarukan termasuk menjadi hal yang rendah dalam agenda pemerintah. Jika saya adalah pemerintah, saya akan mengatakan bahwa perdagangannya sangat menarik. Begitu juga jika saya seorang developer, saya juga akan mengatakan hal yang sama. Tetapi masalahnya adalah implementasi. Agar memenuhi syarat untuk tarif, pertama-tama Anda harus membuktikan bahwa Anda telah memulai eksplorasi. Itu hukumnya. Risiko sepenuhnya ada pada developer,” kata Wijaya.
Terlepas dari prospek energi panas bumi Indonesia, para ahli di forum ini juga membahas praktik terbaik untuk menerapkan strategi pemeliharaan yang efisien untuk pabrik-pabrik di Indonesia.
“Operasi harus dipertimbangkan bahkan selama fase pengembangan pembangkit listrik. Memikirkan optimasi jangka panjang biasanya capex nya 3-5% lebih, karena Anda perlu menempatkan peralatan jangka panjang di capex,” kata Harry Salzwedel, Project Advisor, PT Central Java Power. “Pemeliharaan bukanlah hanya pemeliharaan: ini juga merupakan peningkatan kinerja aset. Kami tidak hanya memperbaikinya, kami juga meningkatkannya," tambahnya.
Ari Fransi, vice president Bekasi Power, menekankan bahwa pemeliharaan pabrik yang tepat dimulai dengan budaya kerja di mana orang mendukung proses terstruktur yang disiplin.
"Operator membutuhkan key performance indicators (KPI) yang seragam, dan membangun sistem reward yang ter-standardisasi berdasarkan indikator-indikator ini," katanya.
Kondisi saat ini
Membutuhkan waktu untuk mencapai hasil di negara seperti Indonesia, dan ada beberapa contoh yang lebih baik daripada di industri nuklir negara berkembang. Mendapatkan daya tarik tinggi pada 1980-an, Indonesia tetap kehilangan operasionalnya padavpembangkit listrik tenaga nuklir. Namun apa yang dirasakan para ahli, adalah bahwa sektor energi Indonesia mungkin tidak perlu menunggu lebih lama sebelum PLTN diluncurkan. Tantangan tetap ada, tentu saja. Matriks pemangku kepentingan yang mencakup serangkaian hubungan yang kompleks antara otoritas pemerintah lokal dan pusat, investor lokal dan internasional, dan lembaga internasional seperti IEAE, sulit dinavigasi. Tetapi di mana ada kemauan, pasti ada jalan.
“Indonesia telah mempersiapkan infrastruktur untuk pembangkit listrik tenaga nuklir sejak 1980-an,” Kata Yarianto S Budi Susilo, director Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir (PKSEN) di Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), lembaga penelitian dan pengembangan nasional yang memandu dan merekomendasikan para pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta dan publik) tentang cara terbaik menyediakan teknologi nuklir yang andal. Yarianto ditugaskan untuk perencanaan energi pembangkit listrik tenaga nuklir dan persiapan infrastruktur pabrik di Indonesia. “Dalam hal sumber daya manusia, saya percaya bangsa ini sudah siap. Kami telah menjalankan tiga riset reaktor dengan aman selama lebih dari 40 tahun dan memiliki pengalaman teknis yang diperlukan dalam operasi reaktor dan fasilitas pendukungnya seperti fabrikasi bahan bakar, penanganan bahan bakar bekas dan manajemen bahan radioaktif.” Yarianto menambahkan bahwa studi kelayakan komprehensif dilakukan selama periode 1991 hingga 1996 dengan lokasi NPP Muria dan 2011 hingga 2013 untuk lokasi NPP Pulau Bangka.
Para ahli sepakat bahwa dengan sumber daya energi fosil yang relatif terbatas, dan populasi yang sangat besar dan terus bertambah, pengembangan sektor energi nuklir akan mengamankan dan memastikan keberlanjutan energi dan pembangunan ekonomi (tentu saja meningkatkan kualitas hidup manusia) dan ini akan membutuhkan energi alternatif untuk menggantikan bagian dari peran energi fosil. Dalam hal lingkungan, energi alternatif diharapkan dapat mengurangi dampak lingkungan (efek rumah kaca, polutan) karena penggunaan energi fosil saat ini dalam skala besar.
Kepala BATAN, Dr Djarot S. Wisnubroto, menyetujui. Berbicara dalam perbincangan eksklusif dengan NFA, tokoh industri nuklir Indonesia tersebut mengatakan bahwa tantangan mendasar yang dihadapi republik adalah tekanan populasi dan pertumbuhan ekonomi masing-masing 1,2% dan 5%. “Pada saat yang sama, berkurangnya sumber bahan bakar fosil, dan aspek lingkungan, khususnya, pengurangan emisi karbon, membuat kita hanya punya satu pilihan: untuk mengurangi ketergantungan pada sektor bahan bakar fosil (minyak, batubara, dan gas), demi pilihan energi baru dan terbarukan (termasuk nuklir)."
Tantangan politik
Sementara kedua pria tersebut dengan tegas menyetujui bahwa dengan sebagian besar tindakan Indonesia selama ini menunjukkan bahwa negara ini telah siap, IEAE sependapat dengan beberapa keberatannya, dan masyarakat Indonesia pun setuju. Selama enam tahun terakhir, BATAN telah melakukan survei publik, dan pada 2014 dan 2015 hasil survei menunjukkan bahwa lebih dari 70% masyarakat mendukung penggunaan energi nuklir. Tetapi politik dan birokrasi harus bergerak ke arah yang benar sebelum program nuklir dapat beroperasi. “Tantangan bagi Indonesia yaitu bagaimana mengumpulkan keputusan politik yang positif, hingga Presiden menyatakan 'go nuclear'. Sayangnya, kita masih harus menunggu deklarasi itu. Jadi tanpa keputusan itu, sulit bagi kita untuk bergerak maju, tetapi ini mungkin bagian terakhir, pemerintah telah melakukan investasi yang signifikan, kami memiliki lokasi potensial untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, kami memiliki sumber daya manusia yang kompeten, pilihan skema keuangan, dan dukungan besar dari publik."
Selain mencapai persetujuan politik, para ahli menyarankan bahwa Indonesia harus terlebih dahulu membentuk NEPIO (Nuclear Energy Program Implementation Organisation), sebuah tim nasional yang dapat membuat keputusan kebijakan mengenai sistem kepemilikan pembangkit listrik tenaga nuklir, bagiannya, jika ada, akan dinikmati oleh Pemerintah Indonesia, seperti skema keuangan, dll. Menurut Dr Djarot, pembentukan NEPIO adalah langkah kedua, sebelumnya harus didahului dengan keputusan dari Presiden untuk menyatakan 'go nuclear'.
Vendor yang berpengalaman
Persetujuan presiden, persiapan penelitian, pengembangan SDM, dan bahkan selain opini publik, mengamankan pengalaman dan pengetahuan atas vendor terbaik juga sangat penting. Tetapi seperti apa vendor sekaligus mitra yang hebat tersebut. Menurut pendapat Yarianto, vendor dengan catatan keselamatan yang baik sangatlah penting, “Vendor yang baik akan menjadikan keselamatan, perlindungan, dan keamanan sebagai prioritas utama, dengan mempertimbangkan geografi Indonesia dan memperhatikan potensi bahaya eksternal umum dan spesifik, populasi, dan sejenisnya. Desain yang disediakan oleh vendor harus mengatasi kondisi ini untuk memastikan operasi yang aman dari pembangkit listrik tenaga nuklir."
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, proyek baru 10 MW HTGR, adalah salah satu strategi untuk memperkenalkan operasional dan komersialisasi energi nuklir ke Indonesia. Salah satu tujuan dari proyek ini adalah untuk menggunakan teknologi nuklir Generasi 4 dengan maksud terutama untuk menyediakan listrik serta untuk tujuan lain diantaranya untuk aplikasi panas untuk desalinasi dan pencairan batubara, antara. Indonesia Timur dijadwalkan sebagai lokasi untuk teknologi Generasi 4 tersebut.
Bagi Dr Djarot, komunikasi dengan vendor adalah kuncinya. “Di Indonesia, sebagai negara berkembang, pertimbangan pertama kami adalah memastikan bahwa vendor kami memiliki saluran komunikasi yang hebat dengan pemerintah kami, dan dapat bekerja sama dengan sektor swasta Indonesia, setiap langkah perjalanan, dan menikmati transfer pengetahuan yang luar biasa."
Jalan yang ada di depan
Meskipun tidak ada keraguan bahwa energi nuklir adalah masa depan untuk keberlanjutan energi Indonesia, negara ini membutuhkan semua pemangku kepentingan, badan, lembaga dan pembuat kebijakan untuk menyelaraskan. Ini mungkin tantangan terbesar: memanfaatkan kemauan politik dan memastikan bahwa kasus yang tak terbantahkan ditempatkan di hadapan investor pada waktu yang tepat. Semua elemen dalam kerangka nuklir nasional harus ada sebelum pabrik komersial pertama dibangun. Begitu kemauan politik diamankan dan para pimpinan telah berkomitmen, industri nuklir dapat mengharapkan investor dan keahlian lokal serta asing untuk cepat bergabung. Sehingga industri energi nuklir domestik akan berkembang relatif cepat karena setelah periode pertimbangan yang relatif panjang dan bersejarah, juga terkadang stagnan.
Dengan laporan dari Marianne Estioco dan Simon Hyett